Saturday, June 23, 2012

Ksatriya Nglanglang

“Odele Calluella!” Seorang pemuda bergegas melangkahkan kaki. Dia memakai tunik panjang tanpa lengan dengan perpaduan warna hitam dan merah. Pada lengan kanan atasnya, dia mengenakan bandage merah senada dengan warna merah pada tuniknya, bergambar bintang hitam bersudut dua belas: enam sudut panjang, enam sudut pendek. Lempengan logam campuran selebar tiga jari melingkari lehernya, menyambung dengan rantai yang melilit lengan kirinya dengan anggun dan berakhir pada lempengan serupa yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Di balik rambut peraknya, yang berkibar tertiup angin, anting-anting berbentuk pedang membanduli telinga kanannya. Dan jika diperhatikan, kedua telinganya tampak meruncing ke atas.

Beberapa meter di depannya, seorang gadis menatapnya dengan pandangan kesal. Gadis itu mengenakan gaun putih panjang bermotif biru. Rambut hitamnya yang panjang lurus tergerai lembut ke belakang, dengan kepang kecil di kedua sisi telinganya, yang dipilin ke belakang, membuatnya begitu anggun, kalau saja ia tidak sedang merengut kesal. Bahkan, kalau boleh jujur, dalam keadaan merengut pun dia tetap terlihat cantik.

 “Apa?!” tuntutnya begitu si pemuda berambut perak sampai di hadapannya.

“Mau ke mana kau?” tanya si pemuda, menatap Odele dengan mata elangnya yang sangat tajam.

“Bukan urusanmu.” Odele memalingkan mukanya, menghindari tatapan menusuk pemuda itu.

Questa Dwayne, pemuda yang mendapat tanggung jawab menjaga Odele secara langsung dari ayah Odele, mengatupkan rahang menahan kekesalan.

“Apa kau sadar kau itu putri tunggal penguasa Elysia?” Questa menghunjamkan tatapannya tepat di manik mata Odele, yang meruncing anggun bagai buah almond.

“Tentu saja!” Odele menaikkan dagunya.

“Jadi?” Questa menaikkan sebelah alisnya.

Odele mendengus. “Baik, kau menang,” gumamnya seraya menunduk.

Questa mendengus. Dia lalu mengikuti langkah tergesa Odele. Terus ke selatan, menuju lapangan berumput di sisi danau Vinca. Itu adalah danau dengan air yang jernih menyejukkan dan berkilauan tertimpa cahaya matahari senja. Melongok di atasnya, terlihat jelas ikan-ikan kecil bermain di dalamnya. Berenang berputar-putar, berkelompok dan berkejaran. Semakin ke tengah, air danau terlihat semakin gelap. Danau Vinca menyambung dengan laut Sikhara di sisi tenggara Elysia melalui sungai Igram. Melalui sungai itulah, dulu, sekelompok merpeople menyeberang dari laut Sikhara menuju danau Vinca, dalam usaha melepaskan diri dari serangan Gnisa dari seberang lautan. Mulanya ada tujuh merpeople: tiga mermaid, tiga merman, dan satu mer bayi. Mereka lalu menetap di danau Vinca dan membentuk koloni di dasar danau.

“Kenapa sih, kau harus selalu mengintil di belakangku?” Odele menggerutu. “Seperti penguntit saja!”

“Kau ingin aku berjalan di sampingmu?” Questa menanggapi dengan senyum.

Odele menghentakkan kakinya dan menoleh pada Questa dengan kesal. “Maksudku bukan itu!” tukasnya. “Bukan berjalan di belakang dalam arti harfiah!”

“Lalu?”

“Ah, sudahlah!” Odele kembali menatap ke depan dan berjalan dengan langkah tergesa. Questa menangkupkan telapak tangan kanannya menutupi bibir dan mati-matian menahan tawa.

Sampai di ujung padang rumput, Odele berbelok ke kiri, memasuki hutan Elfamore. Questa mengikutinya. Melangkahkan kaki di antara semak dan pepohonan rimbun, menginjak dedaunan busuk yang menumpuk menutupi tanah. Tidak ada jalan setapak di dalam hutan, karena memang tidak perlu. Seluruh penduduk Elysia mengenal setiap inci dari hutan Elfamore. Hutan seluas sepertujuh bagian Elysia itu merupakan hutan tertua di daratan Elysia. Pada sepertiga bagian timur hutan itu terpotong oleh aliran sungai Igram. Para tetua Elysia tinggal di hutan itu, di dalam pohon-pohon, atau mengambil bentuk burung-burung. Tidak seperti hutan kuno pada umumnya, udara di dalam hutan Elfamore segar, tidak lembab. Angin pun berhembus begitu pelan, menelusup di antara pohon dan dedaunan dengan begitu lembut, nyaris tanpa desir.
Seekor bluebird melintas di depan Odele dan Questa dan mendarat di atas batang pohon tumbang yang telah dipenuhi lumut, tanaman rambat, dan rumput.
“Salam, Lark-Naut,” Odele mendekat dan menyentuhkan telapak tangan kanan di dada kirinya sebagai tanda penghormatan di Elysia. Questa melakukan hal serupa, namun ia tetap memposisikan diri di belakang Odele agak ke samping kanan.
Bluebird itu berubah dengan anggun, menjelma menjadi seorang Elf pria berambut biru gelap nyaris hitam. Elf itu mengenakan tunik panjang berwarna perak dengan hiasan manik-manik kecil dari permata safir, sehingga ia nampak berpendar biru keperakan.
“Salam, Putri Odele. Salam, Pengawal.” Lark-Naut membalas salam dengan anggun seraya tersenyum. Questa memperhatikan Elf itu dengan khidmat. Senyum hangat, mata teduh, dan garis-garis wajah penuh pengalaman yang melekat pada diri Elf itu memang mampu membuat siapapun menunduk khidmat, penuh hormat, dan segan. Semua Elf adalah anggun, Questa tahu itu, tapi Lark-Naut memiliki keanggunannya sendiri.
Lark-Naut melambaikan lengannya mempersilahkan Odele untuk berjalan di sampingnya, lalu mulai berjalan pelan. Odele maju beberapa langkah menjejeri Elf itu, sementara Questa tetap mengekor di belakang agak ke samping kanan. Selama beberapa waktu tak ada dari mereka yang berbicara. Semua tepekur dalam pikiran masing-masing. Questa, sebagai tahanan sekaligus pengawal Putri Odele, tahu bahwa ia tak berhak untuk memulai pembicaraan, apalagi di hadapan Lark-Naut, Elf yang paling dituakan di Elysia. Kuasanya hanya terletak pada hal-hal yang berkaitan dengan Putri Odele. Selebihnya, ia hanyalah tahanan semata. Yah, ia adalah tahanan tetap Elysia, bahkan sejak ia baru saja dilahirkan. Itu adalah harga yang harus dibayar orang tua Questa saat mereka menyegel Gnisa dalam diri Questa.  Sedangkan Odele, meski ia adalah Putri Mahkota Elysia yang mempunyai kewenangan untuk menanyakan maksud Lark-Naut memanggilnya ke hutan Elfamore, namun ia menghormati Lark-Naut, salah satu tetua Elysia yang kebijaksanaannya tak diragukan. Ia memilih diam menunggu Elf tua itu memulai pembicaraan. Terlepas dari pikiran Questa maupun Odele, Lark-Naut sedang menimbang apakah ia memang harus mengatakan apa yang baru saja diketahuinya atau tidak.
Beberapa putaran matahari yang lalu, telah datang utusan dari utara, dari hutan Centamore yang terletak di bagian utara Elysia. Para Centaurus melihat bintang-bintang mulai bergerak resah. Sinarnya pun tak seterang biasanya. Para centaurus meramalkan sesuatu yang buruk tengah mendekat. Mendengar berita itu, para tetua berkumpul di jantung Elfamore, untuk membahas berita yang dibawa utusan para centaur. Beberapa Elf tertua juga telah merasakan kedatangan sang kegelapan dari desir angin di dalam Elfamore, termasuk Lark-Naut.
Lark-Naut menghela nafas lalu menghembuskannya perlahan. “Sebuah daratan sedang terancam,” ujarnya memulai, “daratan yang menjadi penyokong dunia-dunia. Dan, karena itu, jika daratan itu hancur, Elysia pun terancam. Kami, para tetua, tentu saja masih mengingat ramalan kuno yang dituliskan Yang Mulia Felixia, ratu pertama Elysia, dalam Sajak Para Ratu.” Lark-Naut menoleh pada Odele, untuk melihat anggukannya. Namun Odele hanya menatap Lark-Naut dengan mata dipenuhi tanda tanya. Lark-Naut kembali menatap ke depan dan mulai melantunkan sajak itu:
Erut ufehtni y adaeb lli wereht.
Owtemoc eb noom eht nehw.
Emyhr y mrebmemer.
Ediu gruo y sisiht.
Yhwd na who.
Scisumd nas gnosev lewt.
Yksema seht rednu.
Sdlrown idaerps.
Siht rebmemer.
Denn epos ietag eht erof ebs dneirfrou y dnif.
Dneirfa sihcihwni y mene na eb lli wereht.
Y mene na sihciwni dneirfa eb lli wereht.
Yawasdeens senkrad eht.
Moolgasdeens senkrad eht.
Swodahs sek amt hgil.
Edis rekradd na edis rethgirba eb lli wereht.
Noom detarapes noom der.1
Angin sunyi berhembus. Semakin dingin dan sunyi. Berputar-putar mengelilingi Odele dan Questa. Menciptakan kabut. Seputih susu. Pekat dan dingin. Membungkus Odele dan Questa dalam kepompong angin bercampur kabut yang dingin dan sunyi.
“Apa ini?” Odele mengulurkan tangannya menyentuh dinding kepompong.
“Kami memutuskan untuk mengirim Putri Odele ke dunia penyokong dunia-dunia itu.” Terdengar suara Lark-Naut. “Tuan Putri akan mencari saudara yang lain dan menyelamatkan dunia ini dari kehancuran.” Suara Lark-Naut semakin berat dan jauh, tertelan pusaran kepompong yang sunyi. Semakin cepat dan semakin cepat berputar.
Saat pusaran angin mulai melemah dan kepompong kabut akhirnya pecah, Odele dan Questa mendapati diri mereka di dunia asing: pepohonan yang asing, udara yang asing, cuaca yang asing…
 “Di mana ini?” Odele memutar tubuhnya menatap sekeliling.
“Apakah ini…” Questa maju selangkah menjejeri Odele, “dunia penyokong dunia-dunia, yang dikatakan Lark-Naut…??”
“Danghyang?!”2
Sebuah pekikan mengagetkan Odele dan Questa. Bersamaan mereka menoleh ke arah sumber suara. Di sana, tidak jauh dari mereka, seorang anak laki-laki berdiri dengan mulut ternganga dan mata terbelalak lebar. Tangannya terangkat dengan jari telunjuk mengarah pada Odele dan Questa. Dia mengenakan kain berwarna tanah bercorak putih dan bertelanjang dada. Dilihat dari garis wajahnya yang masih halus dan postur tubuhnya, tampaknya ia masih belia, masih beranjak dari kanak-kanak ke remaja.
“Ada apa, Tole?”3 Mengikuti pertanyaan itu, seorang pemuda mendekat, dengan langkah tegap dan mantap. Dihampirinya anak laki-laki yang mematung itu. Mengikuti arah yang ditunjukkannya, dia menatap ke arah Odele dan Questa, dan langsung terbelalak karenanya.
“Jagad Pramudhita!”4 ujarnya setengah terkejut.
Odele dan Questa saling pandang seraya mengangkat alis. Dunia macam apa sesungguhnya yang mereka kunjungi ini? Lalu apa yang harus mereka lakukan di sini? Berbagai pertanyaan berkecamuk memenuhi benak Odele dan Questa. Baru mereka sadari sepenuhnya, Lark-Naut masih belum menjelaskan secara gamblang hal-hal yang berhubungan dengan pengiriman mereka ke dunia ini, selain sajak Yang Mulia Felixia.

Hari ini Mundhing Seta genap berusia tiga belas tahun. Pagi-pagi sekali Jalu Pradangga membangunkannya untuk segera bersiap ke hutan. Ia ingin mengajak adik semata wayangnya itu untuk berburu. Jika mereka bisa mendapatkan beberapa ekor rusa, mereka bisa menukar sebagian dagingnya dengan bahan makanan untuk beberapa hari ke depan, dan sisanya mereka masak sendiri. Jalu Pradangga bermaksud mengadakan kenduri untuk menyelamati hari kelahiran Mundhing Seta. Dia juga memberi adiknya itu busur baru beserta anak panahnya.
 “Ayolah, Mundhing Seta… sampai kapan kau mau mengagumi warastra5 itu?” Jalu menghentakkan kaki tak sabar.
“Sebentar, Kakang.” Mundhing Seta menyampirkan endhong6 berisi anak panah di punggungnya dan menyelipkan belati di pinggangnya. Menggenggam busur panahnya, lalu menyusul kakangnya yang telah menunggu di luar rumah.
Jalu Pradangga adalah seorang pemuda berkulit sawo matang dan berbadan tegap. Dia lebih senang bertelanjang dada, membiarkan tubuhnya terbakar matahari. Bermata teduh dan berwajah bersih, serta rambut yang selalu dicukur cepak. Di desa ini, dia dikenal sebagai pemuda yang ringan tangan dan mudah tersenyum, meski dia agak pendiam. Berbeda dengan Mundhing Seta adiknya, yang berkulit agak lebih terang daripada dirinya.
Bersama, mereka bergegas menuju alas7 Warangan yang terletak di sebelah tenggara desa. Sampai di hutan, mereka segera mencari jejak rusa. Baik Jalu maupun Mundhing Seta, keduanya merupakan pembaca jejak yang andal. Segera saja mereka menemukan segerombolan rusa yang tengah merumput. Dengan tanpa suara mereka bergerak mendekat, bersembunyi di balik semak dan mengintai dalam diam. Pelan-pelan ngembat watang8, membidikkannya pada sasaran, dan melesatkan anak panah. Nyaris tanpa suara anak panah itu melesat membelah udara. Dua ekor rusa tergeletak sekaligus dengan bidikan tepat mengenai bagian vital, sedang lainnya berlarian ke segala arah.
Jalu saling pandang dengan adiknya, sama-sama tersenyum. Lalu keduanya bangkit dan memeriksa hasil buruan mereka.
 “Payah, Kakang,” gerutu Mundhing Seta, “aku hanya dapat rusa kecil.”
Jalu Pradangga tersenyum. “Lain kali kau pasti bisa mendapatkan yang besar, Tole…
“Kakang! Aku kan sudah tiga belas tahun! Sudah tidak pantas dipanggil Tole lagi!” Mundhing Seta memprotes. Jalu hanya tersenyum mendengar protes adiknya.
Kakak beradik itu lalu membawa hasil buruan mereka ke sungai yang melintasi hutan Warangan. Di sana, mereka menguliti kedua rusa itu dan membersihkan darahnya. Setelah itu mereka membagi daging rusa itu menjadi dua bagian dan memasukkannya pada dua karung berbeda. Kulit rusa berikut kepalanya mereka letakkan dalam karung yang lain. Jadilah buruan itu dalam tiga karung. Jalu membawa dua di antaranya dan sisanya dibawa oleh Mundhing Seta. Mereka membawa hasil buruan itu ke pasar, menukarkan sebagian besar dengan kebutuhan sehari-hari dan membawa pulang sebagian kecil sisanya.
Sesampai di rumah, Jalu Pradangga segera menyibukkan diri untuk menyiapkan makanan. Sementara ia berkutat dengan luweng9, Mundhing Seta keluar untuk mencari daun pisang sebagai alas dan pembungkus. Saat Mundhing Seta hendak menuju tegalan10 di belakang rumah, dilihatnya dua orang berpenampilan aneh muncul secara tiba-tiba di bawah Waringin Sewu.11
“Danghyang?!” seru Mundhing Seta, tanpa sadar menunjuk kedua orang asing itu.
Jalu Pradangga yang mendengar seruan adiknya bergegas keluar. “Ada apa, Tole?” tanyanya. Namun Mundhing Seta yang terlalu terpaku tak dapat mendengarnya. Diikutinya arah yang ditunjuk adiknya itu. “Jagad Pramudhita!” gumamnya dalam keterkejutan.
Sambil waspada Jalu mendekati dua orang asing itu dan menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada, memberi penghormatan singkat. “Maafkan adik saya yang kurang tahu tata krama,” ujarnya seraya mengambil sikap ngapurancang.12 “Kalau boleh saya tahu, Ki Sanak berdua ini siapa dan hendak kemana?”
Dua orang asing itu saling pandang sejenak, lalu kembali menatap Jalu dengan alis berkerut.
“Odele sie manym, Questa sie hdna.”13
Masih dengan sisa keterkejutannya, Mundhing Seta menatap bergantian Kakangnya dan dua orang asing di depan mereka. Dia sama sekali tak mengerti apa yang dikatakan wanita asing itu, namun anehnya Kakangnya sepertinya dapat mengerti.
Kakangnya manggut-manggut. “Apakah Ki Sanak berdua ini kerabat istana?” tanya Kakangnya dengan sopan.
“Dnal y mnissec nirpn worc amai, naidraug y msi Questa dna,”14 si wanita asing yang menjawab. “Ou y era ohw dna? Siht sidlrow tahw? Won era e werehw won ktonod ew…”15
Kakangnya menjawab, “Ini adalah Jawa Dwipa. Kanjeng Putri dan Senopati sedang berada di tlatah16 Singosari, di bawah kekuasaan Baginda Raja Sri Kertanegara. Saya yang rendah ini adalah Jalu Pradangga, dan ini adik saya Mundhing Seta.”
Makin khawatir, Mundhing Seta menarik-narik ujung kain Kakangnya.
“Apa?” tuntut Jalu Pradangga.
“Mereka bicara apa, Kakang? Bagaimana Kakang bisa mengerti bahasa mereka?” Mundhing Seta setengah berbisik di telinga Kakangnya.
Jalu melirik Odele dan Questa sekilas, menjawab pertanyaan adiknya dengan setengah berbisik pula. “Kamu ini ngomong apa, Tole? Bahasa yang mereka gunakan sama saja dengan kita.”
“Tapi Kakang…”
“Gnorw sitahw?”17 Odele menatap kakak beradik itu penuh tanda tanya.
Mundhing Seta menatap Kakangnya, yang menjawab, “Tidak apa-apa, maaf,” seraya tersenyum. “Mundhing Seta bertanya, apa yang Kanjeng Putri dan Tuan Senopati bicarakan. Dia melantur, bukankah kita menggunakan bahasa yang sama?” Jalu mengelus kepala adiknya seraya memberikan tatapan yang berarti “Diam dan jaga sikapmu!”
Melihat peringatan Kakangnya itu, Mundhing Seta mengalihkan pandangannya ke arah Odele dan Questa, yang tengah memandangnya tak berkedip.
“Thgirsi rehtor bruo y spahrep, tub,”18 gumam Questa, masih menatap Mundhing Seta. “Tou bagnik latsi ehtahw dna tsrednu tonod ew. Ou y dna tsrednu ylnonac ew, Jalu-Orb.”19
“Questa eurtsi!”20 Odele membenarkan. “Mundhing Seta y bdesu si egau gnal tahw?”21
Jalu menatap bergantian antara adiknya dan dua orang asing di depannya.
“Jagad Dewa Bathara,”22 gumamnya lirih. “Sungguhkah kalian tak dapat memahami ucapan Mundhing Seta?” Ditatapnya Odele dan Questa. “Bukankah kalian bisa memahami apa yang ku ucapkan?”
“Llatamih dna tsrednu tonnac ewtub, sey,”23 jawab Odele.
“Nodl oh,”24 gumam Questa lamat-lamat. “Gnosro cisum aou y era?”25
“Jika yang Tuan Senopati maksud adalah nama, ya, nama saya berhubungan dengan gamelan.26
“Rehtor brou y dna?”27
“Tidak.”
“T’ is itaht!”28 cetus Odele seraya menjentikkan jari. “Gnosro cisum sniatnoc ohw elpoe pehtrof gniko olera ew. Ton rehtor brou y tub, cisum era ou y. Rehto hcaeot dna tsrednu tonnac ew yhw sitaht!”29 Odele meraih tangan Jalu. Ia bahkan bermaksud memeluknya jika saja Jalu tidak menahannya.
“Maaf,” ujar Jalu. “Tidak baik seorang wanita memeluk laki-laki asing, apalagi yang baru dikenal.”
Questa berdehem di belakang Odele. “Elysia nin eve, dettimr epeb tonnac signiht taht.”30
 Jalu Pradangga berdiri termangu di samping jendela, menatap keluar melalui celah-celah jeruji kayu yang terpasang di jendela, memperhatikan dua orang di luar yang sepertinya tengah berdebat. Yang perempuan berkacak pinggang dan merengut kesal, sedang yang laki-laki bersedekap dan menatap si wanita. Keduanya memakai pakaian yang aneh, seolah mereka kelebihan sekaligus kekurangan kain pada saat yang bersamaan. Mereka begitu bersinar dan mencolok, apalagi dengan telinga yang meruncing ke atas. Dilihat sekilas saja sudah jelas kalau mereka aneh, ganjil, seolah tidak pada tempatnya. Tapi yang lebih aneh adalah yang laki-laki. Dilihat dari postur tubuh dan wajahnya, dia tampak tidak lebih tua dari Jalu, tapi rambutnya putih sempurna, bahkan lebih mengkilap dibanding rambut Ki Buyut, sesepuh desa, yang sudah dipenuhi uban. Dan lagi, laki-laki itu memiliki rantai di leher dan lengannya, seperti seorang tahanan, padahal tampangnya sama sekali tidak mirip bromocorah, justru mirip bangsawan. Yang lebih aneh lagi adalah kemunculan mereka yang tiba-tiba di bawah Beringin Keramat.
Menurut pengakuan gadis itu, dia adalah Putri Mahkota Elysia, dan laki-laki itu adalah pengawalnya. Jalu tidak pernah mendengar ada negeri itu, pastilah negeri yang sangat jauh.
“Bagaimana, Kakang?” Jalu mendengar adiknya berbisik di sampingnya.
“Menurutmu?”
“Hm… mereka dikelilingi aura yang ganjil, hingga mampu membuat udara di sekitar mereka bergerak-gerak resah, tapi ku rasa itu bukan aura jahat.”
“Ku pikir juga begitu,” ujar Jalu. “Aura itu… bisa jadi karena ilmu kanuragan31 mereka yang tinggi, atau entahlah. Yang pasti, kita harus tetap waspada.”
“Tentang yang mereka katakan kemarin…” Mundhing Seta memulai, namun tak menyelesaikan kalimatnya.
Kemarin, Jalu menghela nafas, dua orang itu mengatakan sesuatu yang sulit diterima akal. Mereka bilang mereka dikirim kemari untuk mencari sepuluh orang yang membawa lagu atau musik, dan bersama-sama menyokong bumi ini, yang merupakan dunia penyokong dunia-dunia. Mereka bilang mereka harus menemukan musik dan lagu yang lain sebelum rembulan membelah dan dunia ini berguncang.
Ingin sekali jalu mengabaikan mereka, karena cerita mereka itu terlalu ngayawara32, tak bisa diterima akal. Namun ia teringat wejangan33 Ki Ajar Wenang, seorang pengelana yang sempat menjadi gurunya dalam olah kanuragan selama sepekan, ketika singgah di desa ini.
Ngger,34 sebelum aku pergi, ada beberapa hal yang perlu kau ketahui,” begitu Ki Ajar Wenang menuturkan. “Ilmu yang ku ajarkan padamu itu hanyalah satitik latu ing luweng, sadulit sambel ing cowek35, maka janganlah menjadikan besar kepalamu. Ingat-ingatlah selalu ngelmu pari36, yang makin merunduk ketika makin berisi. Dan belajarlah pada ngelmu pring37, yang meski tinggi namun tetap ngugemi38, lurus tak bercabang, memiliki akar yang kuat menghunjam bumi, yang mampu mengikuti kemana arah angin berlalu tapi tetap terpaku pada akarnya.”
Jalu Pradangga menyerap baik-baik nasehat Ki Ajar Wenang, juga saat pengelana berusia senja itu melanjutkan, “Ngger, pada waktunya nanti akan datang dua orang pengelana mencarimu. Turutlah dengan mereka, karena itu adalah bagian dari takdirmu.”
Saat itu, Jalu yang semula menunduk mendongak menatap gurunya. “Takdir, guru?”
“Ada takdir besar menunggumu di depan,” ujar laki-laki tua yang gemar berjalan dari satu tempat ke tempat lain itu.
Lamunan Jalu terputus saat adiknya menyentuh lengannya dan mengisyaratkan agar dia menengok ke luar jendela. Dilihatnya Putri dari negri yang jauh itu tengah bersenandung di dekat semak mawar dan melati yang nyaris mati kekeringan di musim katiga39 ini. Menakjubkan, semak mawar dan melati yang semula sekarat, tak mempunyai daya hidup itu mulai menggeliat. Seperti mendapat penawar dari racun yang mematikan, seolah terbasahi hujan setelah kemarau panjang, ranting-ranting kurus kering itu menjadi segar kembali, warnanya yang semula cokelat pudar mulai bersemu kehijauan. Daun-daun mulai muncul dan bunganya bermekaran. Dan bersama-sama tumbuh menjadi semak mawar dan melati yang rimbun, dengan aroma semerbak yang menenangkan.
“Luar biasa,” Jalu Pradangga tak mampu membendung rasa kagumnya. “Merekakah, Ksatriya Nglanglang40 yang pernah disebutkan oleh Ki Ajar Wenang?”
___
Hazuki Auryn, Jum’at, 08062012 01:30 a.m
_________
Cerpen ini diikutsertakan dalam ajang Fantasy Fiesta 2012:
http://www.goodreads.com/topic/show/850573-lomba-fantasy-fiesta-2012?format=html&page=1&type=topic
http://kastilfantasi.com/2012/05/daftar-cerita-fantasy-fiesta-2012/

No comments:

Post a Comment