Friday, May 25, 2012

Dongeng Tanpa Judul


“Apaan nih?”
Kyra menepuk-nepuk sebuah buku penuh debu yang baru diambilnya dari ujung atas rak buku di ruang baca. Buku itu sudah bertengger di rak buku itu ketika Kyra dan keluarganya pindah ke rumah ini. Dan baru sekarang buku putih setebal tiga centimeter itu keluar dari tempatnya di ujung atas rak buku di ruang baca.
Kyra mengamatinya. Ada kotak judul di sampul depan buku itu, tapi kotak itu kosong.
“Sepertinya buku dongeng. Tapi kok nggak ada judulnya sih?” gumam Kyra, kemudian duduk di salah satu kursi di ruang baca dan meletakkan buku itu di atas meja.
Saat Kyra membuka sampulnya, ada beberapa kotak bergambar di halaman pertama.
“Ternyata buku dongeng bergambar,” Kyra kembali menggumam.
Belum sempat Kyra mengamati gambar-gambar itu, dari dalam buku tersebut muncul cahaya putih berpendar dan Kyra seperti tersedot masuk ke dalam buku.
*_*
“Lho?” Kyra terbengong menatap sekitarya. “Ini di mana, ya?” tanyanya pada diri sendiri. Tak ada tanda-tanda keberadaan orang lain di sana selain Kyra. Di kanan kirinya, nampak semak-semak dan pepohonan yang rapat dan tanah yang dipijaknya tertutup dedaunan kering dan rerumputan.
Seperti di dalam hutan saja, batin Kyra.
“Tunggu!” Kyra memekik. “Hutan?” Gelombang ngeri menghampiri Kyra. Dia tak habis pikir, bagaimana bisa dia ada di tengah hutan begini? Sendirian lagi! Ini sungguh tak pernah ada dalam benak Kyra.
Bunyi gemerisik dari semak-semak di belakang Kyra memaksa gadis itu membalikkan badan dan menegang.
Bagaimana kalau itu binatang buas? Serigala, mungkin? Ular? Atau binatang buas lainnya?
Tapi ternyata yang keluar dari balik semak-semak itu bukan binatang, apalagi binatang buas, melainkan seorang cowok yang, menurut Kyra, pakaiannya aneh. Dia memakai baju serba hitam seperti yang biasa dipakai Deddy Corbussier, mentalist terkenal itu. Hanya saja, cowok (Kyra yakin dia masih cowok, bukannya laki-laki) ini memakai jubah dan menyembunyikan wajahnya di balik tudung kepala jubah.
Cowok itu mendekat ke arah Kyra dengan langkah pelan dan tegap. Kyra mundur beberapa langkah.
“K-k-kamu, s-siapa?” Kyra bertanya takut.
“Leon, penyihir,” cowok itu menjawab dengan suara dalam dan halus.
“P-penyihir?” Kyra bertanya menegaskan. Dalam pikirannya, muncul gambaran penyihir jahat yang suka menculik gadis-gadis dan meminum darahnya untuk mempertahankan kemudaan.
“Tidak perlu gugup begitu kan, tuan Putri?”
Leon berhenti tepat di hadapan Kyra dan membuka tudung kepalanya. Kyra terperanjat. Tadinya dia mengira wajah cowok itu penuh sayatan mengerikan, makanya ditutupi tudung jubah. Tapi ternyata...
Berhadapan dengan cowok itu, Kyra hanya setinggi dagunya. Padahal Kyra termasuk cewek tinggi di antara teman-temannya.
“A-aku nggak gugup, kok,” jawab Kyra yang sudah mulai bisa mengontrol dirinya.  “Dan lagi, aku bukan tuan Putri. Namaku Kyra.”
Leon tersenyum, dan dada Kyra berdesir aneh.
*_*
Sudah satu minggu Kyra tinggal di sini, sebuah rumah di pinggir desa, tak jauh dari hutan. Kyra tinggal bersama seorang janda menyebalkan yang mempunyai dua anak perempuan yang juga sama menyebalkannya. Parahnya, janda itu mengira Kyra adalah anak tirinya. Dan dua anaknya yang menyebalkan itu pun mengira Kyra adalah saudara tiri mereka. Padahal, jangankan saudara tiri, saudara kandung saja sebenarnya Kyra tak punya. Dan seperti kisah ibu dan saudara tiri dalam dongeng-dongeng pada umumnya, di sini pun Kyra tidak diperlakukan dengan baik.
Sebenarya Kyra sangat enggan tinggal bersama tiga orang perempuan yang amat menyebalkan itu. Pernah sekali dia bertanya apa tidak ada tokoh utama di dongeng ini, dan Leon bilang tidak ada. Makanya penyihir itu memanggil tokoh utama dari dunia nyata. Kyra mulanya menolak dijadikan budak oleh tiga keluarga tirinya itu, tapi Leon bilang Kyra harus mengikuti jalannya cerita dan menyelesaikannya jika ingin bisa pulang kembali ke rumahnya. Jadi, meski terpaksa, Kyra mau juga mengikuti cerita.
*_*
Kyra baru selesai mencuci pakaian di sungai dan sedang dalam perjalanan pulang ketika Leon tiba-tiba muncul di hadapannya. Dia mengenakan pakaian yang modelnya tidak jauh berbeda dengan pakaian-pakaian yang biasa dikenakannya. Hanya saja kali ini dia tidak mengenakan jubah, dan pakaiannya itu berwarna putih, tidak seperti biasanya yang selalu berwarna suram.
“Hai, Leon! Ada berita apa hari ini? Apa yang harus ku lakukan?” Kyra menghampiri penyihir itu.
“Tujuh hari lagi akan diadakan pesta dansa di istana untuk memilihkan calon istri pangeran dan kau akan datang,” ujar Leon kalem.
“Apa? Pesta dansa? Tapi aku nggak bisa dansa!?” Kyra panik mendengar berita dari Leon.
“Tidak apa-apa,” kata Leon menenangkan. “Aku akan mengajarimu.”
Penyihir negeri dongeng itu mengambil alih bak cucian dari tangan Kyra dan meletakkannya di atas sebongkah batu datar di tepi jalan. Dia kemudian menjetikkan jarinya, dan baju lusuh yang Kyra kenakan berganti menjadi gaun dansa berwarna merah yang indah. Kyra memandang gaunnya takjub.
Leon melangkah ke belakang Kyra. Tangan kanannya meraih tangan kanan Kyra dan merentangkannya, sedangkan tangan Kirinya memeluk pinggang Kyra. Saat itu, tepat di depan mereka muncul cermin sebesar almari, yang memuat seluruh bayangan tubuh mereka. Dapat Kyra lihat bayangan dirinya yang begitu cantik. Hampir-hampir Kyra tak percaya kalau yang ada di dalam cermin itu adalah dirinya. Leon merendahkan kepalanya dan bersandar pada bahu kanan Kyra.
“Lihat, kalau begini pangeran pun akan tertarik. Kau akan berdansa dengan pangeran. Saat itu, kau akan merasakan debaran di jantungmu dan kau akan mencintai pangeran. Kau akan berciuman dengan pangeran dan menyelesaikan kisahnya. Kau harus benar-benar mencintai pangeran, karena cinta yang pura-pura tidak berarti di sini.” Leon menjelaskan panjang lebar. Suaranya begitu lembut terdengar di telinga Kyra. Dia bahkan bisa mendengar desahan nafas Leon yang terasa hangat di telinganya.
Deg! Jantung Kyra kembali berdesir aneh. Tapi kali ini itu bukan Cuma desiran, melainkan debaran yang makin lama makin cepat.
“Mmm... Leon,” panggil Kyra, masih menatap cermin. “Bagaimana kalau... bagaimana kalau aku merasakan debaran itu saat bersamamu?”
Tampak ekspresi wajah Leon berubah. Penyihir itu melepaskan pelukannya. Kyra berbalik menghadap Leon, menunggu jawaban.
“Itu tidak mungkin,” ujar Leon. “Penyihir tidak ada hubungannya dengan kisah ini. Penyihir hanya mengawasi jalannya cerita. Tidak mugkin ada debaran terhadap penyihir.”
“Lalu... yang ku rasakan ini apa?”
“Itu... mungkin Cuma kebetulan saja. Tujuh hari lagi kau akan bertemu pangeran untuk pertama kalinya, sehingga kau jadi berdebar-debar.”
“Lalu...” Kyra masih bersikeras, “apakah pertemuan kita juga kebetulan? Pasti ada cerita lain selain putri dan pangeran. Pasti ada kisah tentang penyihir.”
Leon hanya diam, dia nampak kalut. Tanpa mengatakan apapun penyihir itu berbalik dan menghilang. Cermin besar dan gaun dansa yang dikenakan Kyra ikut menghilang, berganti pakaian lusuh Kyra yang sebelumnya.
Sendirian, Kyra mengambil bak cucinya dan mulai berjalan pulang. Teringat kembali olehnya percakapan dengan Leon beberapa hari yang lalu.
“Kenapa harus memanggil tokoh utama dari luar?” tanya Kyra waktu itu.
“Karena tidak ada tokoh utama,” jawab Leon. “Kisah ini dulu diciptakan oleh seseorang yang meninggal sebelum meyelesaikan kisahnya. Bahkan judul kisah pun masih belum dibuat olehnya. Oleh karena itu, tugasku-lah memaggil tokoh utama dari luar. Tokoh utama harus menyelesaikan kisah dalam dongeng ini dan memberikan judul untuknya.”
*_*
Sejak kejadian di perjalanan pulang Kyra dari sungai itu Leon sama sekali tidak menemui Kyra.
Akhirnya, hari di mana pesta dansa itu diadakan tiba juga. Ibu dan kedua saudara tiri Kyra sibuk berhias diri sementara Kyra membersihkan rumah. Begitu malam tiba mereka segera berangkat, meninggalkan Kyra dengan segudang pekerjaan rumah.
“Jangan kemana-mana dan pastikan rumah sudah bersih saat kami pulang nanti!” pesan ibu tiri Kyra sebelum berangkat.
“Ya ya ya,” jawab Kyra sebal.
Sambil meneruskan pekerjaannya, Kyra terus memikirkan Leon. Ya, sejak pertemuannya yang pertama dengan penyihir itu, Kyra sudah menyukainya. Tapi sepertinya Leon tidak menyadarinya. Yang dipikirkan olehnya hanyalah bagaimana Kyra menyelesaikan kisah tanpa melanggar aturan dan merusak cerita.
Tak berapa lama setelah keluarga tiri Kyra pergi, Leon muncul. Kyra kaget juga, dia pikir Leon marah karena pertanyaanya waktu itu dan tak mau lagi menemui Kyra. Tapi sepertinya apa yang dipikirkannya salah. Leon muncul dengan senyum tersungging di bibirnya seperti biasanya.
Kali ini Leon memakai setelan serba hitam. Tanpa menyapa Kyra lebih dulu dia menjentikkan jarinya dan seluruh bagian rumah bersih seketika. Sekali lagi penyihir itu menjentikkan jarinya dan kini gaun pesta berwarna putih yang keindahannya tiada tara membungkus tubuh Kyra. Rambut Kyra yang panjang tergerai menjadi tersanggul indah kini.
“Lihat, lihat!” seru Kyra seraya mendekat pada Leon. “Kau hitam dan aku putih. Kita seperti pasangan, ya?”
Leon hanya tersenyum menanggapi, dan dada Kyra kembali berdesir aneh.
“Ayo kita berangkat,” ajak Leon.
*_*
Di istana, kebanyakan yang menghadiri pesta adalah para gadis, karena memang yang paling utama diundang adalah gadis-gadis di seluruh negeri. Leon terus menggandeng tangan Kyra menerobos para tamu mencari tempat yang nyaman. Di tengah-tengah ruangan terdapat beberapa pasang laki-laki dan perempuan yang sedang berdansa dengan diiringi alunan musik yang merdu.
Leon membawa Kyra ke lantai atas yang tidak begitu ramai.
“Pangeran belum datang, ya?” gumam Leon seraya mengedarkan pandangannya menyapu lantai bawah. Kyra mengikutiya memandang ke bawah, ke arah beberapa pasangan yang berdansa.
“Mau berdansa denganku?” tawar Leon, mengalihkan pandangannya pada Kyra.
“Hmm... tapi aku belum bisa berdansa,” jawab Kyra. Sesugguhnya dia memang ingin berdansa dengan Leon.
“Tidak apa-apa,” Leon tersenyum. “Aku bisa mengajarimu sambil menunggu pangeran keluar. Lagipula, nanti kau juga akan berdansa dengan pangeran.”
Leon berdiri di hadapan Kyra. Tangan kanannya menggenggam tangan Kiri Kyra dan lengan kirinya melingkari piggang Kyra. Mereka lalu berdansa.
“Ikuti saja iramanya dan sesuaikan dengan lagunya,” Leon mengarahkan. “Lihat, mudah kan? Melangkah seperti ini, lalu berputar, seperti ini.”
Kyra berputar, tertawa. Dia benar-benar bahagia karena baru kali ini mengikuti pesta dansa. Mereka berdansa cukup lama. Kyra bahkan ingin terus berdansa bersama Leon selamanya. Dia tidak sadar kalau mereka sedang berada di dalam pesta dan dirinya harus menemui pangeran.
“Leon...” panggil Kyra lirih.
Leon, seperti tersentak, berhenti berdansa dan mundur beberapa langkah dari Kyra. “Maaf,” ujar Leon, “aku agak terbius suasana.” Leon memegangi keningnya. Pandangannya seperti menerawang, seolah memikirkan sesuatu yang rumit.
“Kenapa...” Kyra ragu-ragu, “saat berdansa tadi, rasanya aku ingin lebih lama lagi bersama Leon.”
Leon menurunkan tangannya dari kening dan bersandar pada dinding di belakangnya. “Sebenarnya,” kata penyihir itu, “saat tokoh utama benar-benar menginginkan sesuatu, secara tidak sadar penyihir memberikannya, tapi itu hanya berlaku sementara saja.”
“Tapi...” Kyra mengingat debaran yang aneh yang sering dirasakannya saat bersama Leon, “apakah itu tidak aneh?” tanyanya. “Maksudku, bukankah aku seharusnya berdansa dengan pangeran? Itu yang kau katakan, kan?”
Mendengar pangeran disebut, Leon berjalan ke tepi dan memandang berkeliling ke lantai bawah. “Pangerannya tidak keluar, ya? Sayang sekali,” gumamnya setelah sosok yang dicarinya tidak berhasil ditemukan. Dia beralih menatap Kyra.
“Bagaimana kalau kita pulang saja? Lagipula sebentar lagi tengah malam tiba,” katanya, berusaha tersenyum pada Kyra. Senyum gagal yang hanya menampilkan senyum hampa.
Kyra tetap berdiri diam, mematung memandang ke kejauhan.
Dia lalu menghela nafas panjang dan memandang wajah Leon. “Leon, apa... keinginan terbesarmu?” tanyanya.
Cukup lama Leon terdiam, sebelum akhirnya menjawab, “Aku ingin mengawasi kisah ini sehingga negeri dongeng terbebas dari kehancuran. Jadi, keinginanku adalah menjaga negeri dongeng ini.”
“Kau bohong!” sahut Kyra. “Aku nggak percaya.”
“Benar, kok,” Leon menegaskan dan berusaha terseyum. “Aku ini penyihir, dan aku memang bertugas sebagai penjaga negeri dogeng.”
“Jadi begitu saja?” Kyra kecewa. “Yang kau pedulikan hanya mengawasi dan menyelesaikan kisah yang belum selesai ini. Kau nggak punya keinginan lain? Apa kau nggak pernah memikirkan orang lain?”
Leon memalingkan wajahnya dari pandangan Kyra. “Karena itulah arti keberadaanku di sini,” ujarnya lirih. “Jika kisah ini tidak pernah selesai, negeri ini akan hancur. Dan aku akan tertinggal sendiri di kehampaan.”
Kyra terperanjat. “Benarkah?” tanyanya.
Leon hanya diam saja. Tapi terlihat jelas di matanya kalau ia begitu kesepian. Ia seperti merindukan sesuatu yang begitu jauh dan tak teraih.
“Teng... teng...” jam besar di puncak menara istana mulai berdentang menandakan tengah malam tiba.
“Sudah tengah malam, sebaiknya kita pulang. Ayo,” ajak Leon lembut. Dia meraih tangan Kyra, tapi gadis itu menepiskannya.
“Aku nggak mau pulang,” kata Kyra. “Jika kisah ini nggak selesai, kau akan sendirian. Aku nggak mau pulang.”
“Kyra,” bujuk Leon, “kita harus pulang. Sihirku hanya berlaku sampai tengah malam. Kau tidak ingin, kan, tiba-tiba kembali mengenakan pakaian lusuh di sini?”
“Memangnya kenapa?” Kyra bersikeras. “Leon saja Cuma peduli pada negeri dongeng ini. Bukankah aku seharusnya bertemu dengan pangeran? Aku nggak peduli kalau aku musti berpenampilan buruk di depan pangeran. Kalau kisahnya benar, pangeran pasti akan tetap mencintaiku meski aku berpakaian lusuh.”
“Kyra...”
“Aku nggak mau pulang. Kalau pulang, kalau nggak ketemu pangeran, kisahnya jadi kacau. Kalau kisahnya kacau, kalau negeri dongeng hancur, Leon akan tertinggal sendiri. Aku nggak mau...”
Belum sempat Kyra menyelesaikan kalimatnya, Leon telah menciumnya. Penyihir itu kemudian memeluk Kyra, yang masih membeku karena terkejut.
“Aku memang memiliki keinginan,” kata Leon. “Keinginan terbesarku, ingin terus bersamamu. Bukan kisah ini, bukan negeri dongeng ini, tapi kau, yang ku pedulikan. Aku sungguh takut, jika kisah ini kacau, dan aku akan tertinggal sendirian di kehampaan. Aku takut tak lagi dapat melihatmu. Karena itu, aku berusaha agar kau tetap mencapai kisahmu. Aku... aku sungguh ingin, selalu bersamamu, selamanya bersamamu.”
Tepat saat Leon meyelesaikan kalimatnya, dentang terakhir tengah malam terdengar. Kyra merasakan cahaya berpendar dari tubuh Leon, lalu cahaya di mana-mana, berpendar-pendar hingga segalanya nampak putih menyilaukan.
*_*
Kyra tersentak. Ia duduk di salah satu kursi di dalam ruang baca rumahnya. Di meja di depannya tampak sebuah buku yang terbuka pada halaman terakhirya. Sebuah gambar memperlihatkan seorang gadis berpakaian layaknya putri dan pemuda tampan berpakaian serba hitam berpelukan. Keduanya tersenyum bahagia. Kyra membaca tulisan yang ada dalam kotak epilog di sisi gambar itu.
“Akhirya putri dari negeri asing dan sang penyihir hidup bahagia, selamanya.”
Kyra menutup buku itu dan mengembalikannya di tempatnya di ujung atas rak buku.
“Ternyata cuma mimpi,” gumam Kyra sambil mematikan lampu di ruang baca dan keluar.
*_*
“Selamat pagi anak-anak!” sapa pak Bakhtiar, wali kelas X D, kelas Kyra.
“Pagi, Paaaakk!” jawab murid-murid koor.
“Maaf mengganggu sebentar. Hari ini kalian mendapat teman baru.” Pak Bakhtiar lalu memanggil seseorang. Seorang cowok memasuki kelas sambil tersenyum. Kyra hampir tersedak permen yang dikulumnya karena kaget saat menatap cowok itu.
“Leon?!”
Tanpa sadar Kyra memekikkan nama Leon. Cowok itu menatap Kyra dengan pandangan penuh tanya.
“Oh? Jadi kalian sudah saling mengenal?” Pak Bakhtiar menatap bergantian antara Kyra dan cowok baru itu. Kyra mengangguk mantap, tapi cowok itu menggeleng. Namun Pak Bakhtiar tidak memperhatikan gelengan itu. Beliau malah menyuruh cowok baru itu duduk di bangku yang sama dengan Kyra, yang memang duduk sendiri.
Dengan agak berat hath cowok itu menghampiri Kyra dan duduk di samping gadis itu.
“Leon? Kamu kok...?”
“Elo siapa? Dari mana tahu nama gue?” Leon bertanya dingin.
“What?” Kyra tak menyangka bakal mendapat reaksi sedingin itu dari Leon.
“Gue nggak kenal ama lo. Jadi, nggak usah sok kenal deh!”
Bel istirahat berdering dan Leon langsung beranjak dari tempat duduknya dan keluar dari kelas bersama anak-anak lain, meninggalkan Kyra yang tertegun sendiri.
Ya ampun! Dia sih, bukannya penyihir keren di mimpiku, tapi penyihir jahat beneran, batin Kyra dalam hati. Dia begitu terkejut ketika tiba-tiba matanya mulai pedih dan pandangannya buram. Setitik kristal bening jatuh. Dan, rasanya ada sesuatu yang menggores jantungnya.
*_*

Thursday, May 24, 2012

Echo of Heart 14052010


Seperti sayap-sayap kematian, gelap merengkuhku ke kehampaan. Hitam. Pekat. tak berdasar, tak bertepi. Di antara puing-puing kehancuran tempatku bersembunyi, dari kejaran sang waktu. Penuh sesak di dalam dada. Cabik saja hatiku, biar tercerai. Biar kau tahu merahnya darah. Biar kau tahu hitamnya luka. Sakitnya tak terasa. Perihnya hanya samentara. Tapi terpatri, kekal di dalam hati. Kenapa tak kau robek saja jantungku? Biar berderai di sudut mataku. Biar kelamnya malam memelukku. Kan ku jaga dalam lelapnya tidurku. Kan ku bawa ke alam mimpiku. Biar air mataku tak terjatuh lagi. Biar aku tersenyum lagi. Dalam mimpiku yang semu. Dalam duniaku yang hampa. Selamanya. Selamanya…

To the Sky


Like a horizon line over the mist
I can't see you
In the immortal darkness
My eyes blinded by the sorrow

Can you hear me?
Can you see me?
Can I touch you, hug you,
and run again with you?

I wanna fly with you
To the sky of future
I wanna reach the dream with you
Fly to the sky of future

Like an imagination in my mind
I wanna realize it with you
Cuz this dream is still blind
Hope tomorrow will be shine

16092009

Kepada Nafas di Ujung Senja


Sungguh aku ingin tertawa.
Apa arti semua itu, dibanding kita?
Bila daun sudah menguning, dan laut pun kering.
Sesuatu yang ku panggil sahabat.
Selebih itu…
Tak terbakar oleh api.
Tak tua oleh waktu.
Tak terpisah jarak.
Sungguh tak terhalang.
Kita ‘kan selalu terbang bersama di langit putih.
Di awan biru.
Bermandikan cahaya emas…
Masih ingat itu, Dee?
Hmmm, rasanya sudah lama sekali, ya, sejak kau mengirimiku pesan itu? Ah, aku sendiri sih, sampai sekarang masih tak terlalu yakin apakah kau mengarang itu sendiri atau nyontek dari orang lain. Aku juga tak peduli sih. Kalau pun kau mengambil itu dari karya orang lain, bagiku itu tidak masalah. Hanya dengan kau menunjukkanku tulisan itu saja aku sudah senang.
Well, lupakan masalah nyontek atau tidak itu. Kita bicarakan saja mengenai hal-hal yang menyenangkan. Seperti kenangan-kenangan kita, misalnya.
Kau tahu, aku begitu merindukanmu. Sangat, merindukanmu. Nafas yang berhembus tiap kali ku hela udara melewati paru-paruku. Nama yang telah terpatri dalam dinding-dinding hatiku.
Nama?
Sungguh aku ingin tertawa.
Anwar Maulana Zaro. Itu nama yang kau sebutkan ketika kita pertama kali bertemu dalam mimpi. Tapi aku tahu, itu bukanlah namamu. Dan kau pun, tak pernah, sekali pun, membenarkan nama itu.
Berapa lama, kita, mengenal?
Satu tahun? Dua tahun?
Tidak. Tentu saja tidak. Kau juga pasti akan tertawa jika aku mengatakan kita telah selama itu saling mengenal. Haha, tentu saja, jauh, jauh lebih lama. Empat tahun.
Empat tahun, kau tahu?
Empat tahun dan aku bahkan sama sekali tidak tahu namamu. Empat tahun dan aku sama sekali tidak tahu tentang kau. Empat tahun dan aku sama sekali tak tahu apapun tentangmu. Di mana kau tinggal, apa yang kau sukai, bahkan senyummu pun aku tak tahu.
Sungguh lucu.
Aku pun, sungguh ingin tertawa jika mengingat itu.
Tapi kau pasti tahu, hanya tawa hampa yang bisa ku suguhkan.
Sedang kau tahu betul, bagaimana aku. Sifatku, apa yang ku sukai, kehidupanku, semuanya. Kau tahu semua tentangku. Tentu saja. Karena kau adalah diary-ku.
Dee, nama itu yang ku berikan ketika kita pertama berkenalan dulu.
Dee, kau tahu? Itu adalah panggilan untuk Diary-ku, buku harianku. Ya, tentu saja kau tahu itu, karena aku selalu memberitahumu. Pasti.
Aku yang dulu begitu diam dan kelam. Aku yang dulu bahkan tidak memiliki teman, atau seseorang untuk bicara denganku. Aku yang hanya bisa tertawa dalam duniaku sendiri, bermimpi dan berkhayal, bercanda bersama kawan-kawanku dari negeri imajinasi. Aku, yang oleh orang-orang dibilang gila karena bicara dengan diriku sendiri. Mereka tak tahu. Mereka sungguh tak tahu, bahwa aku tidak gila. Aku bicara dengan teman-temanku.
Lalu kau muncul.
Whuuuzzz…
Bagai angin musim semi, membawa senandung merdu yang mampu menyemaikan pohon kehidupanku yang telah kering dan layu. Dan kau lah akhirnya Dee itu, tempat aku mencurahkan semua isi hatiku, kisahku, tangisku dan tawaku. Kaulah akhirnya yang menjadi wadah bagi semua imajinasiku, impianku. Bagai semburat merah di ufuk timur kau mengalirkan cahaya pada duniaku yang kelam. Namun… kau pun juga mengenalkan padaku, senja yang memesona. Jingga merona mengantarkanku pada mimpi-mimpi yang melenakan.
Sungguh aku ingin tertawa. Ketika kau memanggilku, “Nafasku.”
Bagaimana bisa, aku begitu menggilaimu? Sedang aku bahkan belum pernah melihat senyummu. Seperti bianglala yang menggores mega, kau menghunjam kuat jantungku. Menghadirkan rasa sakit yang manis, seperti godam bertalu-talu di dadaku. Berdebar keras saat desah itu menyentuh alam khayalku; “Nafasku,” kau bilang.
Coretan ini… sungguh aku ingin tertawa. Pada siapa ku alamatkan surat ini? Bagaimana bisa surat ini sampai padamu, sedang aku bahkan tidak tahu namamu, di mana kau tinggal.
Kota sebelah. Itu yang selalu kau katakan.
Tapi di mana?
“Lebih baik misteri dari pada mengerti,” katamu.
Ah, jika saja kau tahu, Nafasku. Ada banyak hal, begitu banyak hal, yang aku ingin kau tahu. Begitu banyak hal yang ingin ku katakan padamu. Aku pun, juga ingin melihatmu. Senyummu, tawamu, air matamu, aku ingin tahu itu semua.
Tahukah kau, Nafasku? Orang-orang bilang kau ini tidaklah nyata. Mereka kira kau hanyalah satu dari sekian imajinasiku. Tapi aku tahu, dan aku percaya, kau ada dan bernyawa di dunia ini. Di suatu tempat yang kau sebut Kota Sebelah.
Aku… sempat ragu ketika aku menulis ini. Karena… pada siapa, ku alamatkan surat ini, jika aku bahkan tak tahu di mana kau tinggal? Tapi aku lalu menghela nafas, memenuhi paru-paruku dengan udara dan menghembuskannya. Ku mantapkan hatiku, untuk menulis surat ini. Menceritakan tentangmu, tentangku, tentang kita. Karena aku… sungguh merindukanmu.
Ini adalah pesan istimewa untukmu, karna kau adalah hal pertama yang ku ingat ketika aku terbangun. Saat kau terjaga, kau ‘kan temukan senyumku, yang slalu menemanimu dan menjaga lelapmu, Nafasku…
Sudah begitu lama, kau, tidak lagi menyambut pagiku dengan pesan-pesan berisi puisi terindah.
Semoga senja mampu mengalirkan sinarnya hingga di sudut hatimu. Agar dirimu senantiasa bersinar saat dirimu berselimutkan tangis kesedihan.
Sudah begitu lama, kau tidak lagi mengiringi senjaku dengan jingga yang memesona dan bait-bait yang menggetarkan hati.
Katakan pada lelapmu bahwa mimpi indah ‘kan menyelimutimu, mendekapmu untuk malam ini, esok, dan selamanya.
Sudah begitu lama, kau tak lagi mengantarku mengarungi lelapnya mimpi. Aku, hanya ingin kau tahu, aku begitu merindukanmu. Sungguh.
Aku begitu merindukan saat-saat kau membuaiku dengan untaian kata-kata yang indah, juga bait yang menggetarkan hati. Seperti pesan manis yang kau sampaikan padaku, dua tahun yang lalu…
Untukmu… Gadisku.
Tahukah kau wahai detak dalam nadiku…
Di sini anganku selalu mengkhayalmu.
Di tempat ini jiwaku senantiasa mendambamu.
Walaupun mata ini tak kuasa menatap parasmu…
Kau tahu…
Mengapa aku begitu menggilaimu?
Mengapa ku begitu takut akan kehilanganmu?
Karena apa, Senjaku?
Karena di sini di hatiku ini,
tlah terukir indah namamu.
Nama yang slalu menjadi teman
dalam tiap hembus nafasku…
Andai saja aku bisa meraihmu, tak perlu aku menulis ini. Andai saja aku bisa menemuimu tak perlu aku meneteskan air mata seperti ini. Padahal kau selalu memintaku untuk terus tersenyum. Tapi selalu saja aku menemukan alasan untuk menitikkan air mata. Aku tak bisa, sungguh, jika terus seperti ini.
Mungkin, semua memang salahku.
Ah, andai saja kau mau memaafkanku.
“Forgive, but not forget,” kau bilang.
Benar, kau memaafkanku. Kau selalu memaafkanku. Itulah yang menyiksaku. Andai saja kau maki aku, atau benci aku sekalian, mungkin aku tak akan semerana ini kini.
Aku, benar-benar merindukanmu, Nafasku. Dan, aku sungguh ingin, bertemu denganmu. Meski Cuma sekali, meski Cuma sedetik, tapi aku sungguh ingin, melihat senyummu.
“Jika Tuhan mengijinkan, kita pasti bertemu, meski itu di depan pintu surga,” berkali-kali kau bilang itu. Meski di depan pintu surga, katamu. Meski di depan pintu surga. Itulah yang ku takutkan. Bagaimana jika aku tidak ada di sana kelak? Aku bukanlah seseorang yang pantas menjadi penghuni surga. Pada neraka mana, nanti, aku dijatuhkan? Dan pada surga mana, nanti kau ditempatkan? Jika demikian, sungguh aku begitu takut jika kita benar-benar tak akan pernah bertemu.
Sedang aku begitu merindukanmu, Pangeran penggenggam nafas, pengoyak mimpi. Telah ku torehkan namamu dalam tebing-tebing bernama imajinasi. Ku dedahkan bait-baitmu dalam tanah bernama impian. Dan ku peluk erat-erat nafas yang kau berikan dan ku simpan rapat-rapat dalam hatiku. Cuma kau, nafas yang ku miliki. Sungguh-sungguh tak inginkah, kau, menengoknya sekali waktu? Aku menunggumu, Nafasku. Selalu menunggumu.
Atau mungkin, kau telah bosan padaku? Ya, empat tahun bukanlah waktu yang singkat untuk bisa merasa bosan. Tapi, aku selalu ingin menolak pikiran itu, Nafasku. Karena aku percaya, pasti bukan karena itu, kau menghilang dariku. Tidak, karena seperti yang kau katakan, “Bagaimana aku bisa bosan denganmu, sedang kamu adalah nafasku? Bagaimana aku bisa jenuh denganmu, sedangkan dirimu adalah jejak dalam setiap langkahku? Dan bagaimana bisa ku berpaling darimu, sedangkan hati ini erat menggenggam namamu, Nafasku?”
Sungguh, ku benar-benar ingin mempercayai itu. Karena kau pun selalu memintaku untuk sepenuhnya percaya padamu.
Ku tuliskan surat ini agar kau tahu itu.
Tapi sungguh aku ingin tertawa, kemana, akan ku alamatkan surat ini?
Ah, andai saja surat ini sampai padamu, Nafasku…

Dariku, Pemimpi yang Kau Sebut Nafas
            Kinar menghela nafas. Dilipatnya kembali lembaran surat yang baru saja dibacanya itu. Dilipatnya dengan rapi, digulungnya, lalu dimasukkannya ke dalam sebuah botol. Botol bening dari kaca, yang lalu disumbatnya dengan gabus berlapis plastik. Dia lalu beranjak dari tempat tidurnya dan keluar dari kamarnya. Tanpa mengenakan alas kaki, ia bergegas menuju pantai Pangi, dengan sepeda motor merah hitam miliknya. Diparkirnya motornya di atas, sedang ia sendiri berjalan menuruni sungai kecil, menyeberanginya lalu menyusuri setapak di seberang sungai. Hamparan pasir kekuningan menyambut gadis yang selalu nampak murung itu ketika ia keluar dari jalan setapak.
Kinar lalu berjalan ke sisi timur, menyeberang aliran sungai yang hendak menyatu dengan laut di sisi timur pantai Pangi, dan meniti karang dan bebatuan hingga ia sampai di ujung timur pantai. Di sana, ombak lebih besar dibanding dengan di bagian tengah pantai. Dan, di tempat itu, Kinar melemparkan botol kaca berisi surat yang dibawanya. Botol kaca itu bergerak timbul tenggelam, berayun-ayun di permukaan laut, lalu menjauh bersama ombak.
Kinar memandangi botol kaca yang nampak tengah mengendarai ombak menuju negeri di seberang laut itu hingga ia tak nampak di mata Kinar. Dia lalu menghela nafas. Seberkas senyum tersungging di sudut-sudut bibirnya. Itu adalah surat yang entah kesekian kalinya ia hanyutkan di pantai Pangi. Dan ia akan terus mengirimkan surat melalui laut. Karena ia yakin, jika laut akan mengantarkan suratnya. Itu… bukan Cuma mimpi Kinar, tapi juga harapan Kinar.
“Apa yang kau lakukan, sendirian di sini?” Sebuah teguran mengalihkan pandangan Kinar dari laut di hadapannya. Seorang laki-laki seumuran Kinar menatapnya dengan senyum dan pandangan teduh.
“Mengirim surat,” jawab Kinar.
“Mengirim surat?” tanya laki-laki itu, memastikan ia tidak salah dengar. “Di laut?” tanyanya lagi ketika Kinar mengangguk meng-iya-kan.
“Ya,” jawab Kinar.
“Ku pikir, yang seperti itu Cuma ada di film-film,” gumam laki-laki itu seraya duduk di samping Kinar. Dia tersenyum kecil.
“Yah, sekarang kau melihatnya di sini,” sahut Kinar.
“Hmm,” laki-laki itu mengangguk. “Apa yang kau tuliskan di surat itu?”
Kinar menghela nafas sebelum menjawab, “Mimpi.”
“Mimpi?”
“Ya.”
Keduanya lalu terdiam, hingga Kinar lalu berdiri dan beranjak dari tempatnya.
“Tunggu,” cegah laki-laki itu. Kinar berhenti dan menoleh. “Siapa namamu?” tanyanya.
“Kinar,” jawab Kinar lalu berbalik dan berlalu.
Di tempatnya, laki-laki itu termangu memandangi punggung Kinar yang makin menjauh.
“Hmfh,” dengusnya kemudian. “Aku terkejut,” gumamnya. “Namanya sama dengan dia. Tapi sungguh berbeda, karena dia selalu nampak ceria, tidak murung dan pendiam seperti itu.” Laki-laki itu, Zain, tersenyum.
(-_-)