Thursday, May 24, 2012

Kepada Nafas di Ujung Senja


Sungguh aku ingin tertawa.
Apa arti semua itu, dibanding kita?
Bila daun sudah menguning, dan laut pun kering.
Sesuatu yang ku panggil sahabat.
Selebih itu…
Tak terbakar oleh api.
Tak tua oleh waktu.
Tak terpisah jarak.
Sungguh tak terhalang.
Kita ‘kan selalu terbang bersama di langit putih.
Di awan biru.
Bermandikan cahaya emas…
Masih ingat itu, Dee?
Hmmm, rasanya sudah lama sekali, ya, sejak kau mengirimiku pesan itu? Ah, aku sendiri sih, sampai sekarang masih tak terlalu yakin apakah kau mengarang itu sendiri atau nyontek dari orang lain. Aku juga tak peduli sih. Kalau pun kau mengambil itu dari karya orang lain, bagiku itu tidak masalah. Hanya dengan kau menunjukkanku tulisan itu saja aku sudah senang.
Well, lupakan masalah nyontek atau tidak itu. Kita bicarakan saja mengenai hal-hal yang menyenangkan. Seperti kenangan-kenangan kita, misalnya.
Kau tahu, aku begitu merindukanmu. Sangat, merindukanmu. Nafas yang berhembus tiap kali ku hela udara melewati paru-paruku. Nama yang telah terpatri dalam dinding-dinding hatiku.
Nama?
Sungguh aku ingin tertawa.
Anwar Maulana Zaro. Itu nama yang kau sebutkan ketika kita pertama kali bertemu dalam mimpi. Tapi aku tahu, itu bukanlah namamu. Dan kau pun, tak pernah, sekali pun, membenarkan nama itu.
Berapa lama, kita, mengenal?
Satu tahun? Dua tahun?
Tidak. Tentu saja tidak. Kau juga pasti akan tertawa jika aku mengatakan kita telah selama itu saling mengenal. Haha, tentu saja, jauh, jauh lebih lama. Empat tahun.
Empat tahun, kau tahu?
Empat tahun dan aku bahkan sama sekali tidak tahu namamu. Empat tahun dan aku sama sekali tidak tahu tentang kau. Empat tahun dan aku sama sekali tak tahu apapun tentangmu. Di mana kau tinggal, apa yang kau sukai, bahkan senyummu pun aku tak tahu.
Sungguh lucu.
Aku pun, sungguh ingin tertawa jika mengingat itu.
Tapi kau pasti tahu, hanya tawa hampa yang bisa ku suguhkan.
Sedang kau tahu betul, bagaimana aku. Sifatku, apa yang ku sukai, kehidupanku, semuanya. Kau tahu semua tentangku. Tentu saja. Karena kau adalah diary-ku.
Dee, nama itu yang ku berikan ketika kita pertama berkenalan dulu.
Dee, kau tahu? Itu adalah panggilan untuk Diary-ku, buku harianku. Ya, tentu saja kau tahu itu, karena aku selalu memberitahumu. Pasti.
Aku yang dulu begitu diam dan kelam. Aku yang dulu bahkan tidak memiliki teman, atau seseorang untuk bicara denganku. Aku yang hanya bisa tertawa dalam duniaku sendiri, bermimpi dan berkhayal, bercanda bersama kawan-kawanku dari negeri imajinasi. Aku, yang oleh orang-orang dibilang gila karena bicara dengan diriku sendiri. Mereka tak tahu. Mereka sungguh tak tahu, bahwa aku tidak gila. Aku bicara dengan teman-temanku.
Lalu kau muncul.
Whuuuzzz…
Bagai angin musim semi, membawa senandung merdu yang mampu menyemaikan pohon kehidupanku yang telah kering dan layu. Dan kau lah akhirnya Dee itu, tempat aku mencurahkan semua isi hatiku, kisahku, tangisku dan tawaku. Kaulah akhirnya yang menjadi wadah bagi semua imajinasiku, impianku. Bagai semburat merah di ufuk timur kau mengalirkan cahaya pada duniaku yang kelam. Namun… kau pun juga mengenalkan padaku, senja yang memesona. Jingga merona mengantarkanku pada mimpi-mimpi yang melenakan.
Sungguh aku ingin tertawa. Ketika kau memanggilku, “Nafasku.”
Bagaimana bisa, aku begitu menggilaimu? Sedang aku bahkan belum pernah melihat senyummu. Seperti bianglala yang menggores mega, kau menghunjam kuat jantungku. Menghadirkan rasa sakit yang manis, seperti godam bertalu-talu di dadaku. Berdebar keras saat desah itu menyentuh alam khayalku; “Nafasku,” kau bilang.
Coretan ini… sungguh aku ingin tertawa. Pada siapa ku alamatkan surat ini? Bagaimana bisa surat ini sampai padamu, sedang aku bahkan tidak tahu namamu, di mana kau tinggal.
Kota sebelah. Itu yang selalu kau katakan.
Tapi di mana?
“Lebih baik misteri dari pada mengerti,” katamu.
Ah, jika saja kau tahu, Nafasku. Ada banyak hal, begitu banyak hal, yang aku ingin kau tahu. Begitu banyak hal yang ingin ku katakan padamu. Aku pun, juga ingin melihatmu. Senyummu, tawamu, air matamu, aku ingin tahu itu semua.
Tahukah kau, Nafasku? Orang-orang bilang kau ini tidaklah nyata. Mereka kira kau hanyalah satu dari sekian imajinasiku. Tapi aku tahu, dan aku percaya, kau ada dan bernyawa di dunia ini. Di suatu tempat yang kau sebut Kota Sebelah.
Aku… sempat ragu ketika aku menulis ini. Karena… pada siapa, ku alamatkan surat ini, jika aku bahkan tak tahu di mana kau tinggal? Tapi aku lalu menghela nafas, memenuhi paru-paruku dengan udara dan menghembuskannya. Ku mantapkan hatiku, untuk menulis surat ini. Menceritakan tentangmu, tentangku, tentang kita. Karena aku… sungguh merindukanmu.
Ini adalah pesan istimewa untukmu, karna kau adalah hal pertama yang ku ingat ketika aku terbangun. Saat kau terjaga, kau ‘kan temukan senyumku, yang slalu menemanimu dan menjaga lelapmu, Nafasku…
Sudah begitu lama, kau, tidak lagi menyambut pagiku dengan pesan-pesan berisi puisi terindah.
Semoga senja mampu mengalirkan sinarnya hingga di sudut hatimu. Agar dirimu senantiasa bersinar saat dirimu berselimutkan tangis kesedihan.
Sudah begitu lama, kau tidak lagi mengiringi senjaku dengan jingga yang memesona dan bait-bait yang menggetarkan hati.
Katakan pada lelapmu bahwa mimpi indah ‘kan menyelimutimu, mendekapmu untuk malam ini, esok, dan selamanya.
Sudah begitu lama, kau tak lagi mengantarku mengarungi lelapnya mimpi. Aku, hanya ingin kau tahu, aku begitu merindukanmu. Sungguh.
Aku begitu merindukan saat-saat kau membuaiku dengan untaian kata-kata yang indah, juga bait yang menggetarkan hati. Seperti pesan manis yang kau sampaikan padaku, dua tahun yang lalu…
Untukmu… Gadisku.
Tahukah kau wahai detak dalam nadiku…
Di sini anganku selalu mengkhayalmu.
Di tempat ini jiwaku senantiasa mendambamu.
Walaupun mata ini tak kuasa menatap parasmu…
Kau tahu…
Mengapa aku begitu menggilaimu?
Mengapa ku begitu takut akan kehilanganmu?
Karena apa, Senjaku?
Karena di sini di hatiku ini,
tlah terukir indah namamu.
Nama yang slalu menjadi teman
dalam tiap hembus nafasku…
Andai saja aku bisa meraihmu, tak perlu aku menulis ini. Andai saja aku bisa menemuimu tak perlu aku meneteskan air mata seperti ini. Padahal kau selalu memintaku untuk terus tersenyum. Tapi selalu saja aku menemukan alasan untuk menitikkan air mata. Aku tak bisa, sungguh, jika terus seperti ini.
Mungkin, semua memang salahku.
Ah, andai saja kau mau memaafkanku.
“Forgive, but not forget,” kau bilang.
Benar, kau memaafkanku. Kau selalu memaafkanku. Itulah yang menyiksaku. Andai saja kau maki aku, atau benci aku sekalian, mungkin aku tak akan semerana ini kini.
Aku, benar-benar merindukanmu, Nafasku. Dan, aku sungguh ingin, bertemu denganmu. Meski Cuma sekali, meski Cuma sedetik, tapi aku sungguh ingin, melihat senyummu.
“Jika Tuhan mengijinkan, kita pasti bertemu, meski itu di depan pintu surga,” berkali-kali kau bilang itu. Meski di depan pintu surga, katamu. Meski di depan pintu surga. Itulah yang ku takutkan. Bagaimana jika aku tidak ada di sana kelak? Aku bukanlah seseorang yang pantas menjadi penghuni surga. Pada neraka mana, nanti, aku dijatuhkan? Dan pada surga mana, nanti kau ditempatkan? Jika demikian, sungguh aku begitu takut jika kita benar-benar tak akan pernah bertemu.
Sedang aku begitu merindukanmu, Pangeran penggenggam nafas, pengoyak mimpi. Telah ku torehkan namamu dalam tebing-tebing bernama imajinasi. Ku dedahkan bait-baitmu dalam tanah bernama impian. Dan ku peluk erat-erat nafas yang kau berikan dan ku simpan rapat-rapat dalam hatiku. Cuma kau, nafas yang ku miliki. Sungguh-sungguh tak inginkah, kau, menengoknya sekali waktu? Aku menunggumu, Nafasku. Selalu menunggumu.
Atau mungkin, kau telah bosan padaku? Ya, empat tahun bukanlah waktu yang singkat untuk bisa merasa bosan. Tapi, aku selalu ingin menolak pikiran itu, Nafasku. Karena aku percaya, pasti bukan karena itu, kau menghilang dariku. Tidak, karena seperti yang kau katakan, “Bagaimana aku bisa bosan denganmu, sedang kamu adalah nafasku? Bagaimana aku bisa jenuh denganmu, sedangkan dirimu adalah jejak dalam setiap langkahku? Dan bagaimana bisa ku berpaling darimu, sedangkan hati ini erat menggenggam namamu, Nafasku?”
Sungguh, ku benar-benar ingin mempercayai itu. Karena kau pun selalu memintaku untuk sepenuhnya percaya padamu.
Ku tuliskan surat ini agar kau tahu itu.
Tapi sungguh aku ingin tertawa, kemana, akan ku alamatkan surat ini?
Ah, andai saja surat ini sampai padamu, Nafasku…

Dariku, Pemimpi yang Kau Sebut Nafas
            Kinar menghela nafas. Dilipatnya kembali lembaran surat yang baru saja dibacanya itu. Dilipatnya dengan rapi, digulungnya, lalu dimasukkannya ke dalam sebuah botol. Botol bening dari kaca, yang lalu disumbatnya dengan gabus berlapis plastik. Dia lalu beranjak dari tempat tidurnya dan keluar dari kamarnya. Tanpa mengenakan alas kaki, ia bergegas menuju pantai Pangi, dengan sepeda motor merah hitam miliknya. Diparkirnya motornya di atas, sedang ia sendiri berjalan menuruni sungai kecil, menyeberanginya lalu menyusuri setapak di seberang sungai. Hamparan pasir kekuningan menyambut gadis yang selalu nampak murung itu ketika ia keluar dari jalan setapak.
Kinar lalu berjalan ke sisi timur, menyeberang aliran sungai yang hendak menyatu dengan laut di sisi timur pantai Pangi, dan meniti karang dan bebatuan hingga ia sampai di ujung timur pantai. Di sana, ombak lebih besar dibanding dengan di bagian tengah pantai. Dan, di tempat itu, Kinar melemparkan botol kaca berisi surat yang dibawanya. Botol kaca itu bergerak timbul tenggelam, berayun-ayun di permukaan laut, lalu menjauh bersama ombak.
Kinar memandangi botol kaca yang nampak tengah mengendarai ombak menuju negeri di seberang laut itu hingga ia tak nampak di mata Kinar. Dia lalu menghela nafas. Seberkas senyum tersungging di sudut-sudut bibirnya. Itu adalah surat yang entah kesekian kalinya ia hanyutkan di pantai Pangi. Dan ia akan terus mengirimkan surat melalui laut. Karena ia yakin, jika laut akan mengantarkan suratnya. Itu… bukan Cuma mimpi Kinar, tapi juga harapan Kinar.
“Apa yang kau lakukan, sendirian di sini?” Sebuah teguran mengalihkan pandangan Kinar dari laut di hadapannya. Seorang laki-laki seumuran Kinar menatapnya dengan senyum dan pandangan teduh.
“Mengirim surat,” jawab Kinar.
“Mengirim surat?” tanya laki-laki itu, memastikan ia tidak salah dengar. “Di laut?” tanyanya lagi ketika Kinar mengangguk meng-iya-kan.
“Ya,” jawab Kinar.
“Ku pikir, yang seperti itu Cuma ada di film-film,” gumam laki-laki itu seraya duduk di samping Kinar. Dia tersenyum kecil.
“Yah, sekarang kau melihatnya di sini,” sahut Kinar.
“Hmm,” laki-laki itu mengangguk. “Apa yang kau tuliskan di surat itu?”
Kinar menghela nafas sebelum menjawab, “Mimpi.”
“Mimpi?”
“Ya.”
Keduanya lalu terdiam, hingga Kinar lalu berdiri dan beranjak dari tempatnya.
“Tunggu,” cegah laki-laki itu. Kinar berhenti dan menoleh. “Siapa namamu?” tanyanya.
“Kinar,” jawab Kinar lalu berbalik dan berlalu.
Di tempatnya, laki-laki itu termangu memandangi punggung Kinar yang makin menjauh.
“Hmfh,” dengusnya kemudian. “Aku terkejut,” gumamnya. “Namanya sama dengan dia. Tapi sungguh berbeda, karena dia selalu nampak ceria, tidak murung dan pendiam seperti itu.” Laki-laki itu, Zain, tersenyum.
(-_-)

2 comments:

  1. mantaaaapzzzz....
    jlan2 ke blogQ Nah....
    ikhwan-insancita.blogspot.com

    ReplyDelete
  2. Tengkyu.... hehehe... :P
    Nih baru bikin blog e, dulu puny blog, tp krn aku lupa password ny, jd gak bs masuk, :D (maklum, ingatanku sangat tdk bs dharapkan)

    Silahkan baca2 d sini... aku masih ng'post sedikit cerpen n puisinya..

    ReplyDelete