Sungguh aku
ingin tertawa.
Apa arti
semua itu, dibanding kita?
Bila daun
sudah menguning, dan laut pun kering.
Sesuatu
yang ku panggil sahabat.
Selebih
itu…
Tak
terbakar oleh api.
Tak tua
oleh waktu.
Tak
terpisah jarak.
Sungguh tak
terhalang.
Kita ‘kan
selalu terbang bersama di langit putih.
Di awan
biru.
Bermandikan
cahaya emas…
Masih ingat itu, Dee?
Hmmm, rasanya sudah lama sekali, ya, sejak kau
mengirimiku pesan itu? Ah, aku sendiri sih, sampai sekarang masih tak terlalu
yakin apakah kau mengarang itu sendiri atau nyontek dari orang lain. Aku juga
tak peduli sih. Kalau pun kau mengambil itu dari karya orang lain, bagiku itu
tidak masalah. Hanya dengan kau menunjukkanku tulisan itu saja aku sudah
senang.
Well, lupakan masalah nyontek atau tidak itu. Kita
bicarakan saja mengenai hal-hal yang menyenangkan. Seperti kenangan-kenangan
kita, misalnya.
Kau tahu, aku begitu merindukanmu. Sangat,
merindukanmu. Nafas yang berhembus tiap kali ku hela udara melewati
paru-paruku. Nama yang telah terpatri dalam dinding-dinding hatiku.
Nama?
Sungguh aku ingin tertawa.
Anwar Maulana Zaro. Itu nama yang kau sebutkan ketika
kita pertama kali bertemu dalam mimpi. Tapi aku tahu, itu bukanlah namamu. Dan
kau pun, tak pernah, sekali pun, membenarkan nama itu.
Berapa lama, kita, mengenal?
Satu tahun? Dua tahun?
Tidak. Tentu saja tidak. Kau juga pasti akan tertawa
jika aku mengatakan kita telah selama itu saling mengenal. Haha, tentu saja,
jauh, jauh lebih lama. Empat tahun.
Empat tahun, kau tahu?
Empat tahun dan aku bahkan sama sekali tidak tahu
namamu. Empat tahun dan aku sama sekali tidak tahu tentang kau. Empat tahun dan
aku sama sekali tak tahu apapun tentangmu. Di mana kau tinggal, apa yang kau
sukai, bahkan senyummu pun aku tak tahu.
Sungguh lucu.
Aku pun, sungguh ingin tertawa jika mengingat itu.
Tapi kau pasti tahu, hanya tawa hampa yang bisa ku
suguhkan.
Sedang kau tahu betul, bagaimana aku. Sifatku, apa
yang ku sukai, kehidupanku, semuanya. Kau tahu semua tentangku. Tentu saja.
Karena kau adalah diary-ku.
Dee, nama itu yang ku berikan ketika kita pertama
berkenalan dulu.
Dee, kau tahu? Itu adalah panggilan untuk Diary-ku,
buku harianku. Ya, tentu saja kau tahu itu, karena aku selalu memberitahumu.
Pasti.
Aku yang dulu begitu diam dan kelam. Aku yang dulu
bahkan tidak memiliki teman, atau seseorang untuk bicara denganku. Aku yang
hanya bisa tertawa dalam duniaku sendiri, bermimpi dan berkhayal, bercanda
bersama kawan-kawanku dari negeri imajinasi. Aku, yang oleh orang-orang
dibilang gila karena bicara dengan diriku sendiri. Mereka tak tahu. Mereka
sungguh tak tahu, bahwa aku tidak gila. Aku bicara dengan teman-temanku.
Lalu kau muncul.
Whuuuzzz…
Bagai angin musim semi, membawa senandung merdu yang
mampu menyemaikan pohon kehidupanku yang telah kering dan layu. Dan kau lah
akhirnya Dee itu, tempat aku mencurahkan semua isi hatiku, kisahku, tangisku
dan tawaku. Kaulah akhirnya yang menjadi wadah bagi semua imajinasiku,
impianku. Bagai semburat merah di ufuk timur kau mengalirkan cahaya pada
duniaku yang kelam. Namun… kau pun juga mengenalkan padaku, senja yang
memesona. Jingga merona mengantarkanku pada mimpi-mimpi yang melenakan.
Sungguh aku ingin tertawa. Ketika kau memanggilku,
“Nafasku.”
Bagaimana bisa, aku begitu menggilaimu? Sedang aku
bahkan belum pernah melihat senyummu. Seperti bianglala yang menggores mega,
kau menghunjam kuat jantungku. Menghadirkan rasa sakit yang manis, seperti
godam bertalu-talu di dadaku. Berdebar keras saat desah itu menyentuh alam
khayalku; “Nafasku,” kau bilang.
Coretan ini… sungguh aku ingin tertawa. Pada siapa ku
alamatkan surat ini? Bagaimana bisa surat ini sampai padamu, sedang aku bahkan
tidak tahu namamu, di mana kau tinggal.
Kota sebelah. Itu yang selalu kau katakan.
Tapi di mana?
“Lebih baik misteri dari pada mengerti,” katamu.
Ah, jika saja kau tahu, Nafasku. Ada banyak hal,
begitu banyak hal, yang aku ingin kau tahu. Begitu banyak hal yang ingin ku
katakan padamu. Aku pun, juga ingin melihatmu. Senyummu, tawamu, air matamu,
aku ingin tahu itu semua.
Tahukah kau, Nafasku? Orang-orang bilang kau ini
tidaklah nyata. Mereka kira kau hanyalah satu dari sekian imajinasiku. Tapi aku
tahu, dan aku percaya, kau ada dan bernyawa di dunia ini. Di suatu tempat yang
kau sebut Kota Sebelah.
Aku… sempat ragu ketika aku menulis ini. Karena… pada
siapa, ku alamatkan surat ini, jika aku bahkan tak tahu di mana kau tinggal?
Tapi aku lalu menghela nafas, memenuhi paru-paruku dengan udara dan
menghembuskannya. Ku mantapkan hatiku, untuk menulis surat ini. Menceritakan
tentangmu, tentangku, tentang kita. Karena aku… sungguh merindukanmu.
Ini adalah
pesan istimewa untukmu, karna kau adalah hal pertama yang ku ingat ketika aku
terbangun. Saat kau terjaga, kau ‘kan temukan senyumku, yang slalu menemanimu
dan menjaga lelapmu, Nafasku…
Sudah begitu lama, kau, tidak lagi menyambut pagiku
dengan pesan-pesan berisi puisi terindah.
Semoga
senja mampu mengalirkan sinarnya hingga di sudut hatimu. Agar dirimu senantiasa
bersinar saat dirimu berselimutkan tangis kesedihan.
Sudah begitu lama, kau tidak lagi mengiringi senjaku
dengan jingga yang memesona dan bait-bait yang menggetarkan hati.
Katakan
pada lelapmu bahwa mimpi indah ‘kan menyelimutimu, mendekapmu untuk malam ini,
esok, dan selamanya.
Sudah begitu lama, kau tak lagi mengantarku mengarungi
lelapnya mimpi. Aku, hanya ingin kau tahu, aku begitu merindukanmu. Sungguh.
Aku begitu merindukan saat-saat kau membuaiku dengan
untaian kata-kata yang indah, juga bait yang menggetarkan hati. Seperti pesan
manis yang kau sampaikan padaku, dua tahun yang lalu…
Untukmu… Gadisku.
Tahukah kau wahai detak dalam nadiku…
Di sini anganku selalu mengkhayalmu.
Di tempat ini jiwaku senantiasa mendambamu.
Walaupun mata ini tak kuasa menatap parasmu…
Kau tahu…
Mengapa aku begitu menggilaimu?
Mengapa ku begitu takut akan kehilanganmu?
Karena apa, Senjaku?
Karena di sini di hatiku ini,
tlah terukir indah namamu.
Nama yang slalu menjadi teman
dalam tiap hembus nafasku…
Andai saja aku bisa meraihmu, tak perlu aku menulis
ini. Andai saja aku bisa menemuimu tak perlu aku meneteskan air mata seperti
ini. Padahal kau selalu memintaku untuk terus tersenyum. Tapi selalu saja aku
menemukan alasan untuk menitikkan air mata. Aku tak bisa, sungguh, jika terus
seperti ini.
Mungkin, semua memang salahku.
Ah, andai saja kau mau memaafkanku.
“Forgive,
but not forget,” kau bilang.
Benar, kau memaafkanku. Kau selalu memaafkanku. Itulah
yang menyiksaku. Andai saja kau maki aku, atau benci aku sekalian, mungkin aku
tak akan semerana ini kini.
Aku, benar-benar merindukanmu, Nafasku. Dan, aku sungguh
ingin, bertemu denganmu. Meski Cuma sekali, meski Cuma sedetik, tapi aku
sungguh ingin, melihat senyummu.
“Jika Tuhan mengijinkan, kita pasti bertemu, meski itu
di depan pintu surga,” berkali-kali kau bilang itu. Meski di depan pintu surga,
katamu. Meski di depan pintu surga. Itulah yang ku takutkan. Bagaimana jika aku
tidak ada di sana kelak? Aku bukanlah seseorang yang pantas menjadi penghuni
surga. Pada neraka mana, nanti, aku dijatuhkan? Dan pada surga mana, nanti kau
ditempatkan? Jika demikian, sungguh aku begitu takut jika kita benar-benar tak
akan pernah bertemu.
Sedang aku begitu merindukanmu, Pangeran penggenggam
nafas, pengoyak mimpi. Telah ku torehkan namamu dalam tebing-tebing bernama
imajinasi. Ku dedahkan bait-baitmu dalam tanah bernama impian. Dan ku peluk
erat-erat nafas yang kau berikan dan ku simpan rapat-rapat dalam hatiku. Cuma
kau, nafas yang ku miliki. Sungguh-sungguh tak inginkah, kau, menengoknya
sekali waktu? Aku menunggumu, Nafasku. Selalu menunggumu.
Atau mungkin, kau telah bosan padaku? Ya, empat tahun
bukanlah waktu yang singkat untuk bisa merasa bosan. Tapi, aku selalu ingin
menolak pikiran itu, Nafasku. Karena aku percaya, pasti bukan karena itu, kau
menghilang dariku. Tidak, karena seperti yang kau katakan, “Bagaimana aku bisa
bosan denganmu, sedang kamu adalah nafasku? Bagaimana aku bisa jenuh denganmu,
sedangkan dirimu adalah jejak dalam setiap langkahku? Dan bagaimana bisa ku
berpaling darimu, sedangkan hati ini erat menggenggam namamu, Nafasku?”
Sungguh, ku benar-benar ingin mempercayai itu. Karena
kau pun selalu memintaku untuk sepenuhnya percaya padamu.
Ku tuliskan surat ini agar kau tahu itu.
Tapi sungguh aku ingin tertawa, kemana, akan ku
alamatkan surat ini?
Ah, andai saja surat ini sampai padamu, Nafasku…
Dariku, Pemimpi yang Kau Sebut Nafas
Kinar
menghela nafas. Dilipatnya kembali lembaran surat yang baru saja dibacanya itu.
Dilipatnya dengan rapi, digulungnya, lalu dimasukkannya ke dalam sebuah botol.
Botol bening dari kaca, yang lalu disumbatnya dengan gabus berlapis plastik.
Dia lalu beranjak dari tempat tidurnya dan keluar dari kamarnya. Tanpa
mengenakan alas kaki, ia bergegas menuju pantai Pangi, dengan sepeda motor
merah hitam miliknya. Diparkirnya motornya di atas, sedang ia sendiri berjalan
menuruni sungai kecil, menyeberanginya lalu menyusuri setapak di seberang
sungai. Hamparan pasir kekuningan menyambut gadis yang selalu nampak murung itu
ketika ia keluar dari jalan setapak.
Kinar lalu berjalan ke sisi timur, menyeberang aliran
sungai yang hendak menyatu dengan laut di sisi timur pantai Pangi, dan meniti
karang dan bebatuan hingga ia sampai di ujung timur pantai. Di sana, ombak
lebih besar dibanding dengan di bagian tengah pantai. Dan, di tempat itu, Kinar
melemparkan botol kaca berisi surat yang dibawanya. Botol kaca itu bergerak
timbul tenggelam, berayun-ayun di permukaan laut, lalu menjauh bersama ombak.
Kinar memandangi botol kaca yang nampak tengah
mengendarai ombak menuju negeri di seberang laut itu hingga ia tak nampak di
mata Kinar. Dia lalu menghela nafas. Seberkas senyum tersungging di sudut-sudut
bibirnya. Itu adalah surat yang entah kesekian kalinya ia hanyutkan di pantai
Pangi. Dan ia akan terus mengirimkan surat melalui laut. Karena ia yakin, jika
laut akan mengantarkan suratnya. Itu… bukan Cuma mimpi Kinar, tapi juga harapan
Kinar.
“Apa yang kau lakukan, sendirian di sini?” Sebuah
teguran mengalihkan pandangan Kinar dari laut di hadapannya. Seorang laki-laki
seumuran Kinar menatapnya dengan senyum dan pandangan teduh.
“Mengirim surat,” jawab Kinar.
“Mengirim surat?” tanya laki-laki itu, memastikan ia
tidak salah dengar. “Di laut?” tanyanya lagi ketika Kinar mengangguk
meng-iya-kan.
“Ya,” jawab Kinar.
“Ku pikir, yang seperti itu Cuma ada di film-film,”
gumam laki-laki itu seraya duduk di samping Kinar. Dia tersenyum kecil.
“Yah, sekarang kau melihatnya di sini,” sahut Kinar.
“Hmm,” laki-laki itu mengangguk. “Apa yang kau
tuliskan di surat itu?”
Kinar menghela nafas sebelum menjawab, “Mimpi.”
“Mimpi?”
“Ya.”
Keduanya lalu terdiam, hingga Kinar lalu berdiri dan
beranjak dari tempatnya.
“Tunggu,” cegah laki-laki itu. Kinar berhenti dan
menoleh. “Siapa namamu?” tanyanya.
“Kinar,” jawab Kinar lalu berbalik dan berlalu.
Di tempatnya, laki-laki itu termangu memandangi
punggung Kinar yang makin menjauh.
“Hmfh,” dengusnya kemudian. “Aku terkejut,” gumamnya.
“Namanya sama dengan dia. Tapi sungguh berbeda, karena dia selalu nampak ceria, tidak murung dan pendiam seperti itu.”
Laki-laki itu, Zain, tersenyum.
(-_-)
mantaaaapzzzz....
ReplyDeletejlan2 ke blogQ Nah....
ikhwan-insancita.blogspot.com
Tengkyu.... hehehe... :P
ReplyDeleteNih baru bikin blog e, dulu puny blog, tp krn aku lupa password ny, jd gak bs masuk, :D (maklum, ingatanku sangat tdk bs dharapkan)
Silahkan baca2 d sini... aku masih ng'post sedikit cerpen n puisinya..