Thursday, May 24, 2012

Mendung 40 Km


Kilometer Pertama...
Hari ini aku mati
Tak tersisa sedikit pun
Nafas untuk ku hirup
Sukmaku melayang
Jiwaku hilang
Terbang bersama angin
Dan aku makin terpuruk
Di sini
Mengecil
Kerdil

Kilometer kelima...
Debaran jantungku masih sama kerasnya dengan lima jam tadi, masih berpacu dengan kecepatan tiga kali kecepatan biasa. Masih seperti lima jam tadi, berdetak kencang seolah bisa terlontar keluar dari tubuhku sewaktu-waktu.
Hari masih bermula saat aku terbangun tadi. Baru dua jam bergulir dari puncak malam. Sebuah pesan singkat dari nomor yang tak ku kenal memaksa kesadaranku kembali dari buaian mimpi. Sebuah pesan singkat, dengan isi yang singkat pula:
Cuma mau bilang, Abhi itu pacarku... Jangan ganggu dia.
Sebuah pesan singkat. Begitu singkatnya hingga aku menggigil saat membacanya. Saking gemetarnya hingga handphone di tanganku terlepas dari genggaman dan terjatuh di pangkuan. Debaran jantungku meningkat dan dadaku naik turun cepat. Keterkejutan, kemarahan, ketakutan, kepedihan, kekhawatiran, kekecewaan, semua bercampur menjadi satu dan menerobos keluar dari benakku dalam bentuk butiran-butiran air yang saling berlomba, beradu cepat, berjejalan keluar dari sudut-sudut mataku. Bukan menetes, tapi menganak sungai. Dan dadaku semakin sesak, karena tangisku hanya berisak. Pesan singkat itu begitu mengejutkan, seperti sebatang anak panah yang melesat dengan diam. Anak panah yang dibidikkan dengan tepat dan akurat, yang meluncur membelah udara tanpa menimbulkan desingan. Keberadaannya tak disadari, hingga ia menancap langsung, tepat di jantungku. Mematikan, bahkan sebelum aku menyadari keberadaannya. Dan aku marah, karena aku telah mati, hanya dalam sekali sebat. Namun, sesungguhnya kemarahan itu muncul lebih karena iri; bagaimana mungkin ia adalah pacar-nya, sedang aku adalah nafas-nya? Dan aku sungguh iri; bagaimana mungkin ia memberikan ikatan itu pada-nya, dan tidak pada-ku? Aku marah dan aku iri. Sungguh.
Begitu mudah, menyelipkan ketakutan, hanya dengan sebuah pesan, pesan singkat, tanpa nama. Begitu mudah, menghancurkan impian, dan mengubahnya menjadi kepedihan, bahkan tak perlu caci maki, sebuah pesan singkat justru lebih mematikan. Kekhawatiranku mencapai muaranya, ketika beberapa hari lalu aku bermimpi, mimpi, orang yang paling ku sayangi pergi, meninggalkanku, begitulah, kira-kira, arti dari mimpiku itu. Aku, sesungguhnya aku tak ingin mempercayai mimpi. Ingin sekali aku berfikir bahwa mimpi hanyalah kembangan, bunga tidur. Hanya saja, sejak turun temurun, keluargaku begitu mempercayai mimpi, sebagai suatu petunjuk, akan apa yang terjadi di masa depan, atau, apa yang sedang terjadi di masa kini. Dan aku, meski tak ingin ku akui, aku memang dibesarkan dengan hal-hal seperti itu. Seperti peramal mimpi saja. Menyebalkan, memang, ketika aku mengetahui namun tak dapat berbuat apa pun.
Aku tahu, dengan mempercayai mimpi, aku harus menerima apapun, apapun, yang sedang, dan atau akan terjadi. Apapun. Tapi kenapa aku masih menyisakan kekecewaan? Rasanya seperti tertohok, tertikam, oleh orang yang memelukku dengan mesra. Orang yang selalu tersenyum padaku, mengajariku tersenyum, namun diam-diam menyembunyikan belati, mengasahnya perlahan, dan menikamku saat tengah merengkuhku dalam pelukannya. Mesra!

Kilometer kesebelas...
Apa yang ku lakukan? Bersepeda ke kota sebelah dengan harapan semua beban yang membuat jantungku berdetak kencang tertinggal di belakang sana bersama jejak sepeda? Rasanya aku sudah sinting. Bersepeda menantang matahari yang beranjak meninggi. Dengan sepeda pinjaman! Tanpa sarapan terlebih dahulu! Tanpa membawa sepeser pun uang untuk berjaga-jaga jika ban sepeda kempes, atau meletus, atau untuk membeli makanan dan minuman! Hanya membawa perasaan yang kacau balau, jiwa yang terhempas, mimpi yang terlempar kembali ke bumi setelah melambung begitu tinggi. Ya! Ku rasa, aku memang gila!
Itukah?
Entah sejak kapan, aku merasa Abhi mulai menjauh. Seperti ia berusaha menghindariku. Tak ku temukan lagi puisi-puisi indah, yang dulu sering ia persembahkan untukku, hanya untukku, permaisurinya, cintanya, nafasnya. Nafasnya...
Karena itukah?
Ku rasa, kini aku mengerti...

Kilometer ketigabelas...
Abhi...
Ingatkah kau, pernah suatu kali dalam rentang kisah kita, kau memberiku puisi ini...?
Untukmu... gadisku...
Tahukah kau wahai detak dalam nadiku...
Di sini
Anganku selalu mengkhayalkanmu
Di tempat ini
Jiwaku senantiasa mendambamu
Walaupun mata ini
Tak kuasa menatap parasmu
Kau tahu...
Mengapa ku begitu menggilaimu?
Karena apa, Senjaku...?
Karena di sini di hati ini
Tlah ku ukir indah namamu
Nama yang slalu menjadi teman
Dalam tiap hembus nafasku...
Abhi...
Masih tergetar, jantungku, ketika ku sebut namamu. Masih berdebar, hatiku, tiap kali ku ingat kamu. Dan aku memang selalu ingat kamu. Hanya kamu, Nafasku, cuma kamu. Engkaulah pangeran penggenggam nafas, pengoyak mimpi, penakhluk cintaku. Cuma kamu. Tak ada yang lain selain kamu, Nafasku...
Berapa lama aku mengenalmu? Satu bulan? Dua bulan? Satu tahun? Dua tahun?
Tidak... Kau pasti juga akan menggeleng, kan? Karena hubungan ini lebih lama dari pada satu bulan, lebih lama dari pada satu tahun, bahkan lebih lama dari pada dua tahun.
Empat tahun...
Empat tahun!
Empat tahun kita bersama. Membangun mimpi-mimpi indah bersama. Empat tahun aku menyandarkan diri padamu, menyerahkan hidupku dalam genggamanmu. Sungguh aku ingin tertawa. Apa arti semua itu, sekarang? Maka benarlah ucapan Kahlil Gibran: Adalah salah jika menganggap cinta muncul dari pendekatan yang tekun.
Abhi, Abhi...
Nafasku...
Rupanya selama empat tahun ini, aku sama sekali tak mengenalmu. Duh, betapa bodohnya...

Kilometer keduapuluh satu...
Kenapa ada cinta
Jika hanya suguhkan luka?
Dan hati pun
Terus mencari
Mencari
Meski retak lagi
Dan lagi...
Kenapa ada kasih
Jika hanya berikan perih?
Dan nafas pun
Kehilangan desah
Bagai belati
Tipis terasah
Mengiris nadi merah
Merah...
Kenapa ada sayang
Jika hanya jadi penghalang?
Dan kaki pun
Terus melangkah pergi
Jauh
Jauh...
Kenapa ada mimpi
Jika hanya kan sakiti?
Dan nyata pun
Terus mengusik
Memberi senyum sejuta kemenangan
Mengalahkan imaji
Khayal...
Fana...
Kenapa ada duka
Yang bercampur air mata
Jika hanya mengerti cara tersenyum?
Dan tawa pun
Menggores luka
Hampa
Hampa...
Bagai garam putih
Terpisah
Dari birunya laut...
Seperti pelangi
Tersaput mentari...
Serupa mendung
Terhempas sang bayu...
Laksana senja
Tanpa rona jingga...
Inilah aku
Sebersit jiwa tanpa nafas...
Seberkas api tanpa sinar...
Seonggok daging tanpa nyawa...
Kosong...

Kilometer keduapuluh tujuh...
Masih gigih ku kayuh sepeda ini, meski kedua kakiku mulai terasa kebas, meski mentari mulai terasa menyengat. Masih ku paksakan mengayuh sepeda ini, meski perutku mulai melilit, meski peluhku mulai menghujan. Tak ada sedikit pun fikiranku untuk berhenti, istirahat. Aku masih bertahan, aku bisa bertahan. Sebentar lagi, sebentar lagi, masih sebentar lagi.
Matahari pun, memang menyengat, memang terik, tapi ada mendung menggantung di belakang sana, berarak dalam kesunyian. Pasti tak lama lagi ia akan mencapai mentari. Pasti. Sebentar lagi, sebentar lagi, sedikit lagi.
Kilometer keduapuluh sembilan...
“Mega?”
Sebuah teguran mampir di telingaku, tapi aku mengabaikannya. Ku rasa aku mulai berkhayal, karena memang tidak mungkin ada yang menegurku. Ini jalan raya, jalan raya yang bising, yang memiliki keheningannya dengan cara yang aneh, bising namun sunyi. Ini jalan ke kota sebelah, tak mungkin ada yang menegurku di sini. Kalau pun ada orang yang ku kenal yang kebetulan melewati jalan ini, tak mungkin ia memperhatikanku. Buat apa? Aku bukanlah orang yang layak untuk diperhatikan. Di kelas pun aku adalah invisible girl, yang tak terlihat. Tak mungkin ada yang melihatku di sini, mengayuh sepeda dengan peluh membanjir ini.
“Tin, tiiin...”
Suara klakson dari arah belakang. Aku meminggirkan sepeda, tanpa perlu menoleh. Adalah hal yang biasa jika terdengar suara klakson di jalan raya. Dan pikiranku yang kacau tak akan membiarkan diriku mengurusi hal-hal remeh seperti itu. Ini adalah kemarahan dalam diamku. Ku rasa aku bisa saja berteriak sekencang-kencangnya dengan harapan kemarahanku akan mereda setelahnya. Tapi ku rasa, itu tak akan banyak membantu. Maka aku hanya diam, diam dan mengayuh sepeda.
Aku pun bisa saja menangis sejadi-jadinya, menghabiskan bergulung-gulung tisu dan menghancurkan bantal. Tapi itu tak ku lakukan. Itu hanya perbuatan bodoh yang akan menjadikan kotor kamarku. Maka aku diam, diam dan mengayuh sepeda.
Aku mungkin juga bisa mengeluh pada orang lain, tentang hatiku, tentang nafasku, tentang semuanya. Orang bilang itu bisa mengurangi beban. Bagiku itu hanya membuatku tak nyaman. Aku lebih suka diam, diam dan mengayuh sepeda. Tak peduli seberapa perihnya hatiku yang tersayat, tak peduli seberapa tak berbentuknya kini hatiku, aku masih sanggup membendung getir itu. Aku masih sanggup mengayuh sepeda. Aku masih sanggup melanjutkan hidupku, sama seperti aku masih sanggup mengayunkan kaki menghela pedal agar sepeda tetap melaju. Aku masih sanggup...
“MEGA?!”
Seorang pengendara motor menyalipku, mengisyaratkan agar aku mengikutinya menyisih dari jalan raya, dan berhenti di bawah pohon.
Aku mendekatinya ketika ia membuka helm-nya. Rupanya Captain. Yah, aku memanggilnya Kapten karena ia ketua kelas di kelasku. Apa yang dia lakukan di sini, menghadangku?
“Apa?” Aku berhenti dan turun dari sepeda.
“Lu ngapain?” tanyanya langsung.
“Bersepeda?” aku menawarkan alternative jawaban. Ku rasa, anak kecil juga pasti tahu kalau aku sedang bersepeda. Apa itu masih perlu ditanyakan? Payah.
“Gue juga tahu,” sahutnya. “Maksud gue, Lu ngapain sepedahan sampe sini? Ini kan jauh banget dari tempat Lu tinggal?”
“Terus, kalau jauh kenapa?” Alih-alih menjawab pertanyaannya, aku malah membalas pertanyaan itu dengan pertanyaan.
“Yah, Lu nggak capek apa, sepedahan segini jauh?”
Aku menggeleng, tertawa. “Enggak-lah, orang cuma segini doang gitu. Yang seperti ini sih udah biasa. Kamu kan tau kalo aku anak PA yang hobi naek turun gunung, payah kamu.”
“Tertawa Lu gak seru,” sungutnya. Dia nyengir lebar. “Lu lagi ada masalah, ya?”
Aku terkesiap. Kenapa tiba-tiba?
Sengaja aku tertawa lebar untuk melipat hatiku. “Payah,” komentarku, “tiap orang pasti punya masalah. Kecil, besar, banyak, dikit, pasti punya. Pertanyaan kamu nggak mutu nih.”
“Mega?” Dia menatapku.
“Hm?” Aku masih tertawa. Menyakitkan. Tapi aku tak ingin mengasihani diriku sendiri. Aku masih sanggup tertawa, masih bisa tertawa. Aku sama bahagianya dengan orang-orang lain. Tak peduli seberapa berdarahnya aku di dalam, aku masih sama bahagianya dengan orang-orang. Inilah aku yang selalu bahagia, selalu tertawa. Menyakitkan, memang, tapi inilah aku. Aku bisa tertawa, harus tertawa, karena Nafasku hanya mengajariku cara tertawa, ia tidak mengajariku cara menangis.
“Pulang gih,” ujar Kapten seraya mendorongku ke sepeda. “Pulang dan bantu-bantu masak, ato bersih-bersih rumah, dari pada Lu kluyuran gak jelas gini, sambil nangis lagi.”
“Apaan sih? Haha, kamu tuh aneh ya, orang aku ceria gini dibilang nangis,” Aku mengibaskan tangannya. “Liat nih, mataku kering, kan?” Ku tantang ia beradu mata denganku.
Kapten mendesah, menggelengkan kepala, lalu naik ke motornya. “Pulang aja, dari pada Lu kenapa-napa. Lu kan cewek?” ujarnya seraya mengenakan kembali helm-nya. Dan sebelum dia men-starter motornya, dia kembali berucap, “Nangis aja kalo mo nangis. Nggak ada gunanya Lu maksain buat ketawa jika hati Lu nangis!”
Aku mendengus. Menggeleng. Tidak. Tak akan ada yang bisa menghentikanku. Aku masih akan mengayunkan kaki mengayuh sepeda. Aku masih belum ingin berhenti. Aku masih...
Menangis?
Aku tidak menangis. Aku tertawa! Bodoh sekali dia mengira aku menangis sementara ia melihat sendiri aku tertawa.
Sejenak aku menertawakannya, lalu...
Sial! Sejelas itukah?
Padahal telah ku lipat rapat-rapat hatiku, telah ku bungkus dengan sejuta wajah tawa, dan ia masih sanggup melihatnya? Aku menggeleng keras-keras. Tidak, ia tidak melihatnya. Ia hanya asal bicara. Siapa pun juga pasti akan mengatakan hal serupa, jika mengetahui ada seseorang yang nekad mengayuh sepeda sejauh 40 km seorang diri, dan di bawah terik matahari.

Kilometer ketigapuluh satu...
Akhirnya mendung memang menutup langit, persis seperti perkiraanku. Mendung yang bertumpuk. Kelabu, putih, gelap, terang, dan bagian yang bersinar seperti perak, yang memisahkan antara bagian yang gelap dan yang terang. Aku menghembuskan nafas, menatap mendung yang bergelayut rendah. Selalu ada bagian yang keperakan. Tapi, akankah ada bagian perak itu dalam mendung yang bergelayut di awan-awan hatiku? Semuanya tampak pekat, gelap dan suram. Nafasku, orang yang kepadanya aku menyandarkan nafasku kini tak sama lagi. Ia telah bergerak bersama waktu, meninggalkanku di tanah bernama kenangan, yang kini hanya berupa bayang-bayang, yang semu dan mematikan.
Aku memang tak akan sanggup membekukan waktu. Tidak, karena tak ada yang abadi. Semuanya pasti bergerak, dan berubah. Tak ada yang diam dan tetap sama di dunia ini. Jika dikatakan ada yang abadi, justru perubahan itulah yang abadi. Cinta pun, cinta abadi hanya ada dalam dongeng, karena sesungguhnya yang ada di dunia ini hanyalah cinta yang berubah. Tak peduli seberapa kukuhnya orang mencintai, pasti cintanya berubah. Entah semakin dalam, atau semakin memudar, tapi pasti berubah. Dan kini, kenangan cintaku yang begitu pekat itu telah menjauh begitu cepat dariku. Inilah cinta yang berubah.

Kilometer ketigapuluh dua...
            Terjatuh dalam lubang yang digali sendiri, terperangkap dalam jaring yang ditebarkan sendiri. Akhirnya luka, tak bisa lepas, dan merana.
            Itulah aku kini, yang bertahun-tahun merangkai mimpi, yang bertahun-tahun mencoba menghalau sunyi lewat imajinasi, akhirnya itu memang hanyalah gemerisik angin di ujung pelangi, yang sejenak datang lalu pergi. Bodohnya aku...

Kilometer ketigapuluh tiga...
Lelah... tak terkira
Letih... tak terperi
Bagai lelayang hilang kendali
Terbang melayang tak berarah
Bagai kapal patah kemudi
Tertelan badai samudera abadi
...

Kilometer ketigapuluh tujuh...
Inilah aku apa adanya. Menggenggam nafas dan meretas sunyi. Tertatih-tatih menyembunyikan tangis. Sakit yang menyayat tiap kali ku hela nafas. Merobek jantungku hingga tak berdetak lagi. Dan darahku tercecer. Merah dan hitam di genggaman mimpi. Warna rindu dan benci. Warna kematian, yang ku torehkan sendiri di sudut hati. Hingga kau tak lagi mengenali. Dan ku pun tak perlu tersedu lagi.
Karena aku memang selalu benci jika aku harus menangis. Aku kuat, aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri. Tidak, aku tidak akan menangis. Aku akan terus tersenyum. Bukankah itu yang kau inginkan, Nafasku? Bukankah kau bilang aku harus selalu tersenyum? Karena kau lupa mengajariku cara menangis, maka aku tak akan menangis. Aku akan tersenyum, dan masih akan mengayuh sepeda. Di bawah mendung yang mengabu parau.

Kilometer ketigapuluh sembilan...
Neneeeeeekkk....???!!!
Beberapa pesan langsung masuk di layar hp ketika ku-aktif-kan hp-ku. Aku tertegun, nyaris saja aku menabrak pagar pembatas jalan. Untung saja aku mempunyai refleks yang cukup bagus, hingga bisa segera mengendalikan sepeda kembali.
Nenek bawel? Tumben diem ja?
Jantungku, yang berdetak cepat, kini berdetak makin cepat. Apa? Apa ini?
Dasar Nenek, kmana sih?! Dtelfon kgak aktif, d sms kgak bales, lg ngapain sih?! >_<
Aku berhenti mengayuh dan meminggirkan sepeda.
Sepedahan. Da pa?
Bergetar tangan dan jemariku saat aku mengetikkan pesan balasan. Nafasku, dia Nafasku! Dia Nafasku! Aku kalut. Apakah harus senang atau sedih. Di saat seperti ini, dia muncul, menggetarkan hati. Haruskah aku senang? Ataukah sedih?
Sepedahan? Dmn?
Balasnya beberapa saat kemudian.
Ke kota sebelah.
Aku mengirimkan pesan balasanku.
Jauh?
Mungkin.
Seberapa jauh?
Ntahlah, mgkin 40km’an, lebih kurang.
Lama tak ada balasan. Aku menunggu. Lima menit, sepuluh menit, masih tak ada balasan. Ya sudah-lah, mungkin dia sedang sibuk dengan suatu hal, atau mungkin dia memang tak ingin lagi membalas pesanku. Atau pacarnya datang. Kemungkinan terakhir membuatku kembali menghembuskan nafas.
Aku sudah hendak kembali mengayuh sepeda ketika hp-ku memperdengarkan Keep Holding On dari Avril lavigne yang jadi original soundtrack-nya Eragon, yang diadaptasi dari novel karya Christopher Paolini.
You’re not alone, together we stand
I’ll be by your side
You know I’ll take your hand
When it gets cold, and it feels like the end
There’s no place to go
You know I won’t give in
No, I won’t give in...
Keep holding on, ‘cause you know we’ll make it through
Make it through...
Just stay strong, ‘cause you know I’m here for you
I”m here for you...
Aku suka lirik lagu ini, mengingatkanku bahwa aku tak sendiri, meski aku memang lebih sering merasa sendirian. Namun aku yakin, selalu yakin, bahwa di suatu tempat, entah di mana, pasti ada, seseorang, yang memikirkanku, entah siapa. Aku selalu yakin itu. Dulu, aku selalu berfikir bahwa aku sendiri, invisible girl yang tidak kentara. Lalu Nafasku datang, dan meyakinkan bahwa aku tidak pernah sendiri. Adalah salah jika aku berfikir aku sendiri dan keberadaanku tidak berguna, katanya, karena pasti ada, meski cuma seorang, orang yang menganggapku penting, aku hanya belum menyadarinya. Dan itulah yang mengubah pandanganku. Kini, aku tak lagi merasa sendiri. Berkat nafasku, aku mengerti lebih banyak tentang kehidupan. Ia mengajarkanku banyak hal, dan memberiku banyak senyum dan tawa. Ia menyadarkanku bahwa aku tak sendiri. Ia juga membawa banyak keceriaan. Hidup yang semula tampak sunyi dan membosankan, begitu penuh rutinitas menjemukan, telah diramaikan olehnya.
Yah, Nafasku memang bukan hanya nafas, ia adalah diary-ku, ia adalah satu-satunya, orang pertama yang tidak menganggapku “tidak penting”. Dulu aku selalu berfikir bahwa hidup ini aneh, dan di kehidupan yang aneh ini aku hidup sebagai orang aneh, yang dijauhi. Aneh memang, tapi inilah hidup, pikirku. Tapi Nafasku berpendapat lain. Hidup memang aneh, tapi aku hanya aneh jika menganggap diriku aneh. Itulah yang dikatakannya saat itu. Dan aku langsung tersedu di pelukannya. Huh, menggelikan, jika aku mengingat itu saat ini. Karena kini, semua itu telah berlalu, tertinggal dalam jaring-jaring berupa kenangan. Kini yang ada hanyalah bayang-bayang masa lalu.
Aku menatap layar hp, Nafasku. Ragu ku angkat telfonnya. Namun aku hanya diam, menunggunya bicara terlebih dahulu. Bukan karena aku tak ingin bicara dengannya. Aku ingin, sungguh ingin. Namun aku tak tahu apa yang musti ku katakan. Apakah aku harus bersikap biasa, atau menjaga jarak? Apakah aku harus senang mengangkat telfonnya, ataukah sedih? Aku tak tahu bagaimana aku harus bersikap. Ini terlalu membingungkan. Maka aku diam, menunggu.
“I love you, my Breath...”
Aku terpaku, sementara telfon telah diputus dari seberang. Kalimat itu... hanya kalimat itu yang terdengar dari seberang sana, sebelum telfon ditutup. Aku menarik sudut-sudut bibirku dengan hambar. Pasti aku telah mencapai puncak kegilaan, hingga aku mengkhayalkan dia mengatakan itu. Aku yakin, aku tadi hanya berkhayal. Abhi tidak pernah menelfon, dan aku tidak pernah mendengar kalimat itu.
Perjalanan berikutnya seolah mengawang, aku hanya mengayuh sepeda, sedang pikiranku sibuk melayang-layang. Kalimat itu, memang kalimat yang biasa ku dengar dari Nafasku. Saling mengucapkan, tapi tetap saja, dia bukan pacar-ku. Dia tak pernah memberikan ikatan itu padaku, dan aku pun tak pernah meminta ikatan itu. Namun dia adalah Nafasku, dan aku Nafasnya. Hanya satu. Hanya dia Nafasku, dan, dia bilang, hanya aku Nafasnya. Tuhan, aku tak ingin menjadi gila karena cinta!
Di dalam sakuku, hp bergetar. Aku mengabaikannya. Cuma pesan masuk, pikirku. Dan aku terus mengayuh sepeda. Sebentar lagi, sebentar lagi aku sampai di tempat pemberhentian. Aku mendongak, langit semakin gelap, seperti menggelapnya hatiku. Aku harus cepat, jika tak ingin tertangkap hujan.

Kilometer keempatpuluh...
Sampai di kota sebelah, aku ke luar dari jalan raya, memasuki jalan menuju persawahan. Ada satu tempat yang menjadi tujuanku. Tempat itu berupa sebidang tanah berumput di bawah lindungan pohon Saman. Besar dan rindang. Aku senang berlindung di bawah naungannya yang rimbun, yang melindungiku dari terik dan hujan. Dan rerumputan ini, meski tak terlalu luas, hanya selebar dua meter, tapi begitu lembut dan nyaman.
Mendung masih bergelayut manja, tak ingin membebaskan langit dengan mengikuti ajakan angin, namun juga tak hendak luruh menjadi hujan. Seolah menunggu, atau memang ia bermaksud untuk tetap tinggal di atas sana, menjadi mendung yang abadi.
Aku turun dari sepeda, menyandarkannya pada satu sisi pohon, dan duduk di sampingnya, bersandar pada pohon. Ku hela nafas dalam-dalam, memenuhi paru-paruku dengan udara segar berbau rumput dan padi, lalu menghembuskannya perlahan, mencoba melepaskan benakku dari pikiran-pikiran yang melelahkan dan menjemukan. Dari sela-sela dedaunan pohon, ku coba mencari bayangan langit, yang tersembunyi, oleh awan yang mengabu parau.
Getaran di sakuku kembali terasa.
Nafasku, demikian yang tertera di layar hp.
Apa lagi sekarang?
Tidak cukupkah aku mengkhayal hari ini?
Tidakkah aku cukup terdiam?
Apa lagi yang akan diperbuatnya sekarang?
Seelah apa yang ia lakukan; membanjiriku dengan selaksa puisi, menghujaniku dengan sejuta mimpi, melukis beribu imajinasi dalam kanvas hatiku, lalu menghempaskanku, jauh ke bawah, yang tak berdasar, yang tak berujung, dan sekarang, apa lagi yang akan diperbuat olehnya?
Yg sms semalam tu aku, Nafasku, pakai hp-ny kakak...
Maaf y, aku cm ingin memastikn hatimu...
Aku sayang kamu, Nafasku...
Stelah ni, kmu pulng y, n jangan lg sperti ni...
Aku g’ ingin kmu knp2...
Jangan sedih lg y...
Luv u, my Breath...
Dan seketika aku pun tersedu. Tangis yang ku tahan selama ini keluarlah sudah, tak mampu lagi membendung air mata yang berjejalan keluar. Bukan menetes, tapi membanjir. Dan aku pun makin tersedu, di bawah lindungan pohon ini, di antara hamparan sawah ini, di atas sebidang rumput ini, aku tersedu. Makin tenggelam dalam lautan air mata, berbaur dengan rana dan bahagia.
Hujan!
Inilah hujan itu. Akhirnya ia melepaskan diri dari kungkungan sang kelabu. Luruh, satu, satu, luruh dalam pelukan bumi.
Aku mendongak, menantang hujan. Ia yang menderas dan dengan segera saja bisa meluruhkan debu-debu, menyucikan rumput dan pepohonan. Ia yang dengan segera mampu menghidupkan bumi yang menggersang.
Apa ini?
Permainan apa lagi ini?
Hanya memastikan hatiku, begitu katanya. Lalu, ia anggap apakah hatiku selama ini?
Nafas yang terhela ini, nada dalam nadi yang  menggelora ini, detak yang menderu dalam jantung ini, darah yang berdesir dan mengalir dalam jantung ini... ia anggap apakah semua itu?
Batu?
Patung?
Nol?
Kosong?
Palsu seperti indahnya pelangi yang hanya sekejap muncul lalu hilang diterpa angin, luruh ditingkah hujan dan sirna dihalau mentari? Atau, ilusi seperti langit dan horizon?
Aku menggelengkan kepala, tak mengerti. Atau mungkin, aku terlalu bodoh untuk mengerti. Inilah itu. Inilah jawaban atas semua pertanyaanku, berkilo-kilo meter yang lalu. Hanya ingin memastikan hati, dia bilang. Begitu mudah, seolah tanpa beban. Dan sepertinya, aku pun tak akan menepis maaf itu. Terlalu takhluk, tunduk pada Nafas. Ya, itulah aku. Dalam isak ku sunggingkan tawa, dalam senyum ku sembunyikan tangis. Dan dalam sedihku ku biaskan bahagia, di hadapan Nafas...
Dan langit...
Langit masih mencurahkan air matanya. Apakah sedih? Ataukah bahagia? Sedih karena harus meninggalkan langit, bahagia karena telah terbebas dari awan yang mengabu parau. Begitu dingin dan memilukan, bagai tertusuk ribuan duri mematikan. Melihat itu, aku pun tersedu, dalam pelukan air mata langit, yang kelam, yang dingin dan melelahkan. Siapa tahan dengan ini? Saat kaki lelah berpijak, saat hati bosan berdiri, aku pun tertunduk dalam ayunan hujan. Merosot jatuh dan tersimpuh. Makin tersedu, mengiringi gurat sendu air mata langit. Apakah sedih? Ataukah bahagia? Aku pun... tak peduli lagi.

Catatan akhir...
Hujan telah reda, dan Mega sedang dalam perjalanan kembali. Ia telah tenang kini, meski gurat-gurat kesedihan itu masih menyisakan sendu di matanya. Masih dalam diam, setelah beberapa saat yang lalu tersedu di bawah siraman hujan, ia kayuh kembali sepeda pinjaman itu, menuju rumah. Dia telah mencatat satu hal, bahwa semua yang terjadi, yang mengindahkan juga menghancurkan hatinya, hanyalah sepintas peristiwa. Ia dapat melihatnya sebagai hujan sesaat. Hujan yang muncul menghalau hangatnya mentari, namun hanya sesaat, lalu berlalu. Inilah itu. Hujan yang menghalau mendung 40 kilometer yang mengiringi Mega. Dan ia tak perlu resah lagi oleh mendung yang bergelayut pilu, yang tak hendak berpindah dan tak ingin luruh dalam pelukan bumi, karena awan yang mengabu itu telah sirna kini, setelah hujan sesaat. Ia kini dapat melihat mentari, dan bumi pun mulai menghangat kembali. Ia bisa mendongak dan menatap langit yang membiru sempurna kini.
Ya, ia bisa lakukan itu.
Tapi, apakah itu serta merta menjadikan pilunya memudar? Mungkin ia bisa menatap langit, mungkin ia bisa merasakan hangatnya mentari. Namun, apakah ia bisa melupakan hujan itu, meski hanya sesaat? Di sinilah pertanyaan itu beralih kini. Ia tak bisa, tak ingin memikirkan, namun itu tetap ada dalam benaknya. Meski bagaimanapun ia memampatkan benaknya, meremasnya menjadi gumpalan kecil yang padat, pertanyaan itu tetap sanggup menyeruaj masuk dalam benaknya. Ia tetap bisa bersembunyi di antara lipatan-lipatan benak Mega.
Sampai di rumah, ia bahkan masih berada di jalan dekat pintu masuk, ketika dari balik pagar ia melihat seseorang duduk memeluk lutut di teras rumahnya. Mega bergegas. Seseorang itu, duduk di tepi teras seraya memeluk lutut dan menyembunyikan wajah di antara lengannya. Rambutnya rancung, berdiri-diri dan mencuat di sana-sini, dengan potongan cepak yang sesungguhnya adalah potongan rambut yang rapi.
Mega berbelok, mengdrem sepedanya. Mungkin terlalu keras, karena orang itu segera mendongak. Masih terpaku Mega menatap laki-laki itu, yang raut mukanya begitu sendu dan pilu. Ia seperti gabungan antara resah dan perasaan bersalah. Dan di matanya, Mega dapat melihatnya, adalah warna yang menyembunyikan begitu banyak kepedihan. Warna yang seolah mampu membuat siapa pun yang melihatnya merasakan apa yang ia rasakan. Tanpa sadar, Mega menjatuhkan sepedanya begitu saja. Tatapannya tetap melekat pada orang di hadapannya.
“Nenek bawel?!” Lelaki itu bergegas bangkit dan menyongsong Mega, yang masih berdiri mematung di samping sepedanya yang teronggok begitu saja. “Kamu kemana saja sih? Aku khawatir, tau?! Dasar!” Dia merengkuh Mega ke dalam pelukannya.
“Kenapa?” Mega tercekat mendengar suaranya sendiri. Sesungguhnya ia tidak ingin mengatakan itu, tapi entah kenapa malah kata itu yang terlontar keluar.
“Kenapa?” ulang laki-laki itu. “Karena kau Nafasku,” dieratkannya pelukannya pada Mega.
“Abhi...”
“Ssst...” Abhi memotong. “Bukan Abhi,” bisiknya, “tapi Nafas...”
Mega memejamkan mata, menenggelamkan wajahnya dalam dada bidang Abhi, membiarkan dirinya berada dalam kekuasaan lengan-lengan kokoh itu.
“Maafin aku, Nafasku, udah bikin kamu seperti ini...” Abhi mengelus punggung Mega. Dikecupnya puncak kepala gadis itu. “Aku sayang kamu. Lain kali, jangan begini lagi, ya...? Kau menakutiku.”
Mega tak membalas ucapan Abhi, namun pemuda itu dapat merasakan dadanya basah dan hangat. Ada isak yang tersembunyi di sana. Ya, rupanya cinta memang memiliki pendapat lain. Betapa pun ia menahan air matanya untuk tak keluar, namun di hadapan nafas tak mampu juga ia membendung bah itu. Tersedu ia dalam pelukan Abhi.
“Kenapa diam aja? Kau marah?” Abhi melepas pelukannya, menatap wajah Mega, dan menghapus air matanya. “Hm?”
Mega menggeleng pelan.
“Lalu?”
“Kalau kau... berbuat, seperti itu, lagi,” Mega tersendat saat berusaha bicara, “aku nggak akan, nggak akan sepedah...an 40 kilometer lagi. Tapi aku, aku akan, akan pergi ke, gunung yang tinggi, dan terjal. Aku akan, mendaki gunung itu...”
Sesaat mata Abhi membulat. Ia lalu tersenyum dan merengkuh Mega kembali ke pelukannya. Dipeluknya Nafasnya itu dengan lembut. “Maafkan aku, Nafasku.” Terasa begitu lembut, nafas Abhi berhembus di telinga Mega. Ia memejamkan mata, menikmati tiap hembusan nafas yang singgah di telinganya.
“Kau tahu aku selalu memaafkanmu, Nafasku,” Mega menjawab lirih.

Catatan Mega...
Berhembus...
Angin perubahan...
Menghalau sunyi...
Meredam imajinasi...
Mimpi...
Nyata...
Tak lagi sama...
Kini...
Berbaur...
Degub yang sama...
Dalam detak seirama...
Mengusir sepi...
Di hati...
Bagai ironi...
Tawa...
Tangis...
Menyatu...
Tak lagi semu...
Seperti kau...
Bagiku...

Catatan Abhi...
            Aku begitu mencintainya. Ia yang namanya seindah senja dengan jingganya yang merona. Hanya saja, ku tak terlalu mampu mengungkap rasa. Hanya saja, ia terlalu lugu tuk mengerti apa yang telah ku siratkan padanya. Baginya, tidak cukup hanya mengatakan cinta. Ia perlu mendengarku menyatakan bahwa ia adalah pacarku. Ia perlu mendengar pernyataan dariku bahwa aku dan dia pacaran. Namun aku tak pernah memberikan pernyataan itu. Ku ingin ia mengerti, tanpa aku memberitahunya. Ku ingin ia belajar memahami, tanpa perlu aku menjelaskan segalanya.
Ia telah dewasa. Ia harus belajar bersikap dewasa. Karena aku tidak bisa selalu ada di sisinya dan selamanya bersamanya untuk menjelaskan semua yang ia tanyakan. Pasti akan ada saat, dimana ia tak bisa bertanya padaku, dan aku tak bisa menjelaskan padanya. Pada saat seperti itu, jika ia terus bergantung padaku, ia tak akan pernah mengerti bagaimana harus bersikap.
Aku mencintainya. Sungguh. Hanya ia wanita yang ada di dalam hatiku. Maksudku, selain ibuku. Makanya aku memberikan sebutan itu. Nafas. Ku harap aku satu-satunya Nafas baginya, karena bagiku, ia adalah satu-satunya Nafas. Aku selalu ingin yang terbaik baginya. Aku membolehkannya melakukan apapun asalkan itu membuatnya senang, dan juga, asalkan ia bisa menjaga dirinya. Karena itu, kali ini, saat ku tahu ia melakukan hal konyol itu: mengayuh sepeda sejauh 40 km, aku begitu cemas. Apa yang dipikirkannya? Ku pikir, ia akan marah dan menghubungiku, marah-marah padaku lalu tak mau bicara denganku. Jika begitu, aku berfikir aku bisa melunakkannya kembali.
Namun, alih-alih berteriak-teriak marah, ia malah mematikan ponsel. Seharian ku coba hubungi dia, namun hasilnya tetap sama: ponselnya di-nonaktifkan. Ketika akhirnya ia meng-aktifkan kembali ponselnya, apa yang ku dapat bagai menghantam kesadaranku yang paling dalam. Ia masih membalas pesanku. Ia masih menerima panggilanku. Tapi dengan nada bicara yang membekukan. Dan yang lebih mengkhawatirkan, ia bilang ia bersepeda sejauh 40 km! Bagaimana mungkin aku tidak terkejut mendengarnya?
Bergegas aku ke rumahnya. Ku kirim dia pesan agar cepat kembali. Namun, begitu aku sampai di rumahnya, pintu rumah masih terkunci. Dan, tak lama kemudian, mendung yang telah seharian bergelayut mulai tumpah dan semakin lama semakin menderas. Dan kecemasanku kian menjadi. Apa yang bisa terjadi padanya di hari hujan seperti ini? Di mana dia sekarang? Apa yang dia lakukan? Apakah ia mendapat tempat berteduh? Aku mengkhawatirkan itu, karena ia menyukai hujan. Ia bisa saja mengabaikan segala hal hanya untuk berdiri di bawah hujan, atau bdrjalan, atau bersepeda!
Dia datang tak lama setelah hujan reda. Dengan baju yang basah sempurna. Ia pasti telah bersepeda menembus hujan. Aku yakin itu. Tapi di matanya, aku menangkap sesuatu yang lain. Sisa-sisa air mata. Apakah ia menembus hujan untuk menyembunyikan tangis? Dasar! Saat seperti ini, masih saja ia bersembunyi. Menahan diri untuk tidak berteriak-teriak marah atau pun menangis tersedu, itulah dia. Itulah Nafasku. Berpura-pura tegar dan kuat, namun sungguh rapuh.
Aku begitu mencintainya. Ku harap, saat nafasku terhenti nanti, orang yang terakhir lihat adalah dia. Dan ku harap, saat ku dihidupkan lagi kelak, orang yang pertama menuntunku adalah dia. Sungguh. Ku begitu mencintainya.

~^_^~

No comments:

Post a Comment