Friday, May 25, 2012

Dongeng Tanpa Judul


“Apaan nih?”
Kyra menepuk-nepuk sebuah buku penuh debu yang baru diambilnya dari ujung atas rak buku di ruang baca. Buku itu sudah bertengger di rak buku itu ketika Kyra dan keluarganya pindah ke rumah ini. Dan baru sekarang buku putih setebal tiga centimeter itu keluar dari tempatnya di ujung atas rak buku di ruang baca.
Kyra mengamatinya. Ada kotak judul di sampul depan buku itu, tapi kotak itu kosong.
“Sepertinya buku dongeng. Tapi kok nggak ada judulnya sih?” gumam Kyra, kemudian duduk di salah satu kursi di ruang baca dan meletakkan buku itu di atas meja.
Saat Kyra membuka sampulnya, ada beberapa kotak bergambar di halaman pertama.
“Ternyata buku dongeng bergambar,” Kyra kembali menggumam.
Belum sempat Kyra mengamati gambar-gambar itu, dari dalam buku tersebut muncul cahaya putih berpendar dan Kyra seperti tersedot masuk ke dalam buku.
*_*
“Lho?” Kyra terbengong menatap sekitarya. “Ini di mana, ya?” tanyanya pada diri sendiri. Tak ada tanda-tanda keberadaan orang lain di sana selain Kyra. Di kanan kirinya, nampak semak-semak dan pepohonan yang rapat dan tanah yang dipijaknya tertutup dedaunan kering dan rerumputan.
Seperti di dalam hutan saja, batin Kyra.
“Tunggu!” Kyra memekik. “Hutan?” Gelombang ngeri menghampiri Kyra. Dia tak habis pikir, bagaimana bisa dia ada di tengah hutan begini? Sendirian lagi! Ini sungguh tak pernah ada dalam benak Kyra.
Bunyi gemerisik dari semak-semak di belakang Kyra memaksa gadis itu membalikkan badan dan menegang.
Bagaimana kalau itu binatang buas? Serigala, mungkin? Ular? Atau binatang buas lainnya?
Tapi ternyata yang keluar dari balik semak-semak itu bukan binatang, apalagi binatang buas, melainkan seorang cowok yang, menurut Kyra, pakaiannya aneh. Dia memakai baju serba hitam seperti yang biasa dipakai Deddy Corbussier, mentalist terkenal itu. Hanya saja, cowok (Kyra yakin dia masih cowok, bukannya laki-laki) ini memakai jubah dan menyembunyikan wajahnya di balik tudung kepala jubah.
Cowok itu mendekat ke arah Kyra dengan langkah pelan dan tegap. Kyra mundur beberapa langkah.
“K-k-kamu, s-siapa?” Kyra bertanya takut.
“Leon, penyihir,” cowok itu menjawab dengan suara dalam dan halus.
“P-penyihir?” Kyra bertanya menegaskan. Dalam pikirannya, muncul gambaran penyihir jahat yang suka menculik gadis-gadis dan meminum darahnya untuk mempertahankan kemudaan.
“Tidak perlu gugup begitu kan, tuan Putri?”
Leon berhenti tepat di hadapan Kyra dan membuka tudung kepalanya. Kyra terperanjat. Tadinya dia mengira wajah cowok itu penuh sayatan mengerikan, makanya ditutupi tudung jubah. Tapi ternyata...
Berhadapan dengan cowok itu, Kyra hanya setinggi dagunya. Padahal Kyra termasuk cewek tinggi di antara teman-temannya.
“A-aku nggak gugup, kok,” jawab Kyra yang sudah mulai bisa mengontrol dirinya.  “Dan lagi, aku bukan tuan Putri. Namaku Kyra.”
Leon tersenyum, dan dada Kyra berdesir aneh.
*_*
Sudah satu minggu Kyra tinggal di sini, sebuah rumah di pinggir desa, tak jauh dari hutan. Kyra tinggal bersama seorang janda menyebalkan yang mempunyai dua anak perempuan yang juga sama menyebalkannya. Parahnya, janda itu mengira Kyra adalah anak tirinya. Dan dua anaknya yang menyebalkan itu pun mengira Kyra adalah saudara tiri mereka. Padahal, jangankan saudara tiri, saudara kandung saja sebenarnya Kyra tak punya. Dan seperti kisah ibu dan saudara tiri dalam dongeng-dongeng pada umumnya, di sini pun Kyra tidak diperlakukan dengan baik.
Sebenarya Kyra sangat enggan tinggal bersama tiga orang perempuan yang amat menyebalkan itu. Pernah sekali dia bertanya apa tidak ada tokoh utama di dongeng ini, dan Leon bilang tidak ada. Makanya penyihir itu memanggil tokoh utama dari dunia nyata. Kyra mulanya menolak dijadikan budak oleh tiga keluarga tirinya itu, tapi Leon bilang Kyra harus mengikuti jalannya cerita dan menyelesaikannya jika ingin bisa pulang kembali ke rumahnya. Jadi, meski terpaksa, Kyra mau juga mengikuti cerita.
*_*
Kyra baru selesai mencuci pakaian di sungai dan sedang dalam perjalanan pulang ketika Leon tiba-tiba muncul di hadapannya. Dia mengenakan pakaian yang modelnya tidak jauh berbeda dengan pakaian-pakaian yang biasa dikenakannya. Hanya saja kali ini dia tidak mengenakan jubah, dan pakaiannya itu berwarna putih, tidak seperti biasanya yang selalu berwarna suram.
“Hai, Leon! Ada berita apa hari ini? Apa yang harus ku lakukan?” Kyra menghampiri penyihir itu.
“Tujuh hari lagi akan diadakan pesta dansa di istana untuk memilihkan calon istri pangeran dan kau akan datang,” ujar Leon kalem.
“Apa? Pesta dansa? Tapi aku nggak bisa dansa!?” Kyra panik mendengar berita dari Leon.
“Tidak apa-apa,” kata Leon menenangkan. “Aku akan mengajarimu.”
Penyihir negeri dongeng itu mengambil alih bak cucian dari tangan Kyra dan meletakkannya di atas sebongkah batu datar di tepi jalan. Dia kemudian menjetikkan jarinya, dan baju lusuh yang Kyra kenakan berganti menjadi gaun dansa berwarna merah yang indah. Kyra memandang gaunnya takjub.
Leon melangkah ke belakang Kyra. Tangan kanannya meraih tangan kanan Kyra dan merentangkannya, sedangkan tangan Kirinya memeluk pinggang Kyra. Saat itu, tepat di depan mereka muncul cermin sebesar almari, yang memuat seluruh bayangan tubuh mereka. Dapat Kyra lihat bayangan dirinya yang begitu cantik. Hampir-hampir Kyra tak percaya kalau yang ada di dalam cermin itu adalah dirinya. Leon merendahkan kepalanya dan bersandar pada bahu kanan Kyra.
“Lihat, kalau begini pangeran pun akan tertarik. Kau akan berdansa dengan pangeran. Saat itu, kau akan merasakan debaran di jantungmu dan kau akan mencintai pangeran. Kau akan berciuman dengan pangeran dan menyelesaikan kisahnya. Kau harus benar-benar mencintai pangeran, karena cinta yang pura-pura tidak berarti di sini.” Leon menjelaskan panjang lebar. Suaranya begitu lembut terdengar di telinga Kyra. Dia bahkan bisa mendengar desahan nafas Leon yang terasa hangat di telinganya.
Deg! Jantung Kyra kembali berdesir aneh. Tapi kali ini itu bukan Cuma desiran, melainkan debaran yang makin lama makin cepat.
“Mmm... Leon,” panggil Kyra, masih menatap cermin. “Bagaimana kalau... bagaimana kalau aku merasakan debaran itu saat bersamamu?”
Tampak ekspresi wajah Leon berubah. Penyihir itu melepaskan pelukannya. Kyra berbalik menghadap Leon, menunggu jawaban.
“Itu tidak mungkin,” ujar Leon. “Penyihir tidak ada hubungannya dengan kisah ini. Penyihir hanya mengawasi jalannya cerita. Tidak mugkin ada debaran terhadap penyihir.”
“Lalu... yang ku rasakan ini apa?”
“Itu... mungkin Cuma kebetulan saja. Tujuh hari lagi kau akan bertemu pangeran untuk pertama kalinya, sehingga kau jadi berdebar-debar.”
“Lalu...” Kyra masih bersikeras, “apakah pertemuan kita juga kebetulan? Pasti ada cerita lain selain putri dan pangeran. Pasti ada kisah tentang penyihir.”
Leon hanya diam, dia nampak kalut. Tanpa mengatakan apapun penyihir itu berbalik dan menghilang. Cermin besar dan gaun dansa yang dikenakan Kyra ikut menghilang, berganti pakaian lusuh Kyra yang sebelumnya.
Sendirian, Kyra mengambil bak cucinya dan mulai berjalan pulang. Teringat kembali olehnya percakapan dengan Leon beberapa hari yang lalu.
“Kenapa harus memanggil tokoh utama dari luar?” tanya Kyra waktu itu.
“Karena tidak ada tokoh utama,” jawab Leon. “Kisah ini dulu diciptakan oleh seseorang yang meninggal sebelum meyelesaikan kisahnya. Bahkan judul kisah pun masih belum dibuat olehnya. Oleh karena itu, tugasku-lah memaggil tokoh utama dari luar. Tokoh utama harus menyelesaikan kisah dalam dongeng ini dan memberikan judul untuknya.”
*_*
Sejak kejadian di perjalanan pulang Kyra dari sungai itu Leon sama sekali tidak menemui Kyra.
Akhirnya, hari di mana pesta dansa itu diadakan tiba juga. Ibu dan kedua saudara tiri Kyra sibuk berhias diri sementara Kyra membersihkan rumah. Begitu malam tiba mereka segera berangkat, meninggalkan Kyra dengan segudang pekerjaan rumah.
“Jangan kemana-mana dan pastikan rumah sudah bersih saat kami pulang nanti!” pesan ibu tiri Kyra sebelum berangkat.
“Ya ya ya,” jawab Kyra sebal.
Sambil meneruskan pekerjaannya, Kyra terus memikirkan Leon. Ya, sejak pertemuannya yang pertama dengan penyihir itu, Kyra sudah menyukainya. Tapi sepertinya Leon tidak menyadarinya. Yang dipikirkan olehnya hanyalah bagaimana Kyra menyelesaikan kisah tanpa melanggar aturan dan merusak cerita.
Tak berapa lama setelah keluarga tiri Kyra pergi, Leon muncul. Kyra kaget juga, dia pikir Leon marah karena pertanyaanya waktu itu dan tak mau lagi menemui Kyra. Tapi sepertinya apa yang dipikirkannya salah. Leon muncul dengan senyum tersungging di bibirnya seperti biasanya.
Kali ini Leon memakai setelan serba hitam. Tanpa menyapa Kyra lebih dulu dia menjentikkan jarinya dan seluruh bagian rumah bersih seketika. Sekali lagi penyihir itu menjentikkan jarinya dan kini gaun pesta berwarna putih yang keindahannya tiada tara membungkus tubuh Kyra. Rambut Kyra yang panjang tergerai menjadi tersanggul indah kini.
“Lihat, lihat!” seru Kyra seraya mendekat pada Leon. “Kau hitam dan aku putih. Kita seperti pasangan, ya?”
Leon hanya tersenyum menanggapi, dan dada Kyra kembali berdesir aneh.
“Ayo kita berangkat,” ajak Leon.
*_*
Di istana, kebanyakan yang menghadiri pesta adalah para gadis, karena memang yang paling utama diundang adalah gadis-gadis di seluruh negeri. Leon terus menggandeng tangan Kyra menerobos para tamu mencari tempat yang nyaman. Di tengah-tengah ruangan terdapat beberapa pasang laki-laki dan perempuan yang sedang berdansa dengan diiringi alunan musik yang merdu.
Leon membawa Kyra ke lantai atas yang tidak begitu ramai.
“Pangeran belum datang, ya?” gumam Leon seraya mengedarkan pandangannya menyapu lantai bawah. Kyra mengikutiya memandang ke bawah, ke arah beberapa pasangan yang berdansa.
“Mau berdansa denganku?” tawar Leon, mengalihkan pandangannya pada Kyra.
“Hmm... tapi aku belum bisa berdansa,” jawab Kyra. Sesugguhnya dia memang ingin berdansa dengan Leon.
“Tidak apa-apa,” Leon tersenyum. “Aku bisa mengajarimu sambil menunggu pangeran keluar. Lagipula, nanti kau juga akan berdansa dengan pangeran.”
Leon berdiri di hadapan Kyra. Tangan kanannya menggenggam tangan Kiri Kyra dan lengan kirinya melingkari piggang Kyra. Mereka lalu berdansa.
“Ikuti saja iramanya dan sesuaikan dengan lagunya,” Leon mengarahkan. “Lihat, mudah kan? Melangkah seperti ini, lalu berputar, seperti ini.”
Kyra berputar, tertawa. Dia benar-benar bahagia karena baru kali ini mengikuti pesta dansa. Mereka berdansa cukup lama. Kyra bahkan ingin terus berdansa bersama Leon selamanya. Dia tidak sadar kalau mereka sedang berada di dalam pesta dan dirinya harus menemui pangeran.
“Leon...” panggil Kyra lirih.
Leon, seperti tersentak, berhenti berdansa dan mundur beberapa langkah dari Kyra. “Maaf,” ujar Leon, “aku agak terbius suasana.” Leon memegangi keningnya. Pandangannya seperti menerawang, seolah memikirkan sesuatu yang rumit.
“Kenapa...” Kyra ragu-ragu, “saat berdansa tadi, rasanya aku ingin lebih lama lagi bersama Leon.”
Leon menurunkan tangannya dari kening dan bersandar pada dinding di belakangnya. “Sebenarnya,” kata penyihir itu, “saat tokoh utama benar-benar menginginkan sesuatu, secara tidak sadar penyihir memberikannya, tapi itu hanya berlaku sementara saja.”
“Tapi...” Kyra mengingat debaran yang aneh yang sering dirasakannya saat bersama Leon, “apakah itu tidak aneh?” tanyanya. “Maksudku, bukankah aku seharusnya berdansa dengan pangeran? Itu yang kau katakan, kan?”
Mendengar pangeran disebut, Leon berjalan ke tepi dan memandang berkeliling ke lantai bawah. “Pangerannya tidak keluar, ya? Sayang sekali,” gumamnya setelah sosok yang dicarinya tidak berhasil ditemukan. Dia beralih menatap Kyra.
“Bagaimana kalau kita pulang saja? Lagipula sebentar lagi tengah malam tiba,” katanya, berusaha tersenyum pada Kyra. Senyum gagal yang hanya menampilkan senyum hampa.
Kyra tetap berdiri diam, mematung memandang ke kejauhan.
Dia lalu menghela nafas panjang dan memandang wajah Leon. “Leon, apa... keinginan terbesarmu?” tanyanya.
Cukup lama Leon terdiam, sebelum akhirnya menjawab, “Aku ingin mengawasi kisah ini sehingga negeri dongeng terbebas dari kehancuran. Jadi, keinginanku adalah menjaga negeri dongeng ini.”
“Kau bohong!” sahut Kyra. “Aku nggak percaya.”
“Benar, kok,” Leon menegaskan dan berusaha terseyum. “Aku ini penyihir, dan aku memang bertugas sebagai penjaga negeri dogeng.”
“Jadi begitu saja?” Kyra kecewa. “Yang kau pedulikan hanya mengawasi dan menyelesaikan kisah yang belum selesai ini. Kau nggak punya keinginan lain? Apa kau nggak pernah memikirkan orang lain?”
Leon memalingkan wajahnya dari pandangan Kyra. “Karena itulah arti keberadaanku di sini,” ujarnya lirih. “Jika kisah ini tidak pernah selesai, negeri ini akan hancur. Dan aku akan tertinggal sendiri di kehampaan.”
Kyra terperanjat. “Benarkah?” tanyanya.
Leon hanya diam saja. Tapi terlihat jelas di matanya kalau ia begitu kesepian. Ia seperti merindukan sesuatu yang begitu jauh dan tak teraih.
“Teng... teng...” jam besar di puncak menara istana mulai berdentang menandakan tengah malam tiba.
“Sudah tengah malam, sebaiknya kita pulang. Ayo,” ajak Leon lembut. Dia meraih tangan Kyra, tapi gadis itu menepiskannya.
“Aku nggak mau pulang,” kata Kyra. “Jika kisah ini nggak selesai, kau akan sendirian. Aku nggak mau pulang.”
“Kyra,” bujuk Leon, “kita harus pulang. Sihirku hanya berlaku sampai tengah malam. Kau tidak ingin, kan, tiba-tiba kembali mengenakan pakaian lusuh di sini?”
“Memangnya kenapa?” Kyra bersikeras. “Leon saja Cuma peduli pada negeri dongeng ini. Bukankah aku seharusnya bertemu dengan pangeran? Aku nggak peduli kalau aku musti berpenampilan buruk di depan pangeran. Kalau kisahnya benar, pangeran pasti akan tetap mencintaiku meski aku berpakaian lusuh.”
“Kyra...”
“Aku nggak mau pulang. Kalau pulang, kalau nggak ketemu pangeran, kisahnya jadi kacau. Kalau kisahnya kacau, kalau negeri dongeng hancur, Leon akan tertinggal sendiri. Aku nggak mau...”
Belum sempat Kyra menyelesaikan kalimatnya, Leon telah menciumnya. Penyihir itu kemudian memeluk Kyra, yang masih membeku karena terkejut.
“Aku memang memiliki keinginan,” kata Leon. “Keinginan terbesarku, ingin terus bersamamu. Bukan kisah ini, bukan negeri dongeng ini, tapi kau, yang ku pedulikan. Aku sungguh takut, jika kisah ini kacau, dan aku akan tertinggal sendirian di kehampaan. Aku takut tak lagi dapat melihatmu. Karena itu, aku berusaha agar kau tetap mencapai kisahmu. Aku... aku sungguh ingin, selalu bersamamu, selamanya bersamamu.”
Tepat saat Leon meyelesaikan kalimatnya, dentang terakhir tengah malam terdengar. Kyra merasakan cahaya berpendar dari tubuh Leon, lalu cahaya di mana-mana, berpendar-pendar hingga segalanya nampak putih menyilaukan.
*_*
Kyra tersentak. Ia duduk di salah satu kursi di dalam ruang baca rumahnya. Di meja di depannya tampak sebuah buku yang terbuka pada halaman terakhirya. Sebuah gambar memperlihatkan seorang gadis berpakaian layaknya putri dan pemuda tampan berpakaian serba hitam berpelukan. Keduanya tersenyum bahagia. Kyra membaca tulisan yang ada dalam kotak epilog di sisi gambar itu.
“Akhirya putri dari negeri asing dan sang penyihir hidup bahagia, selamanya.”
Kyra menutup buku itu dan mengembalikannya di tempatnya di ujung atas rak buku.
“Ternyata cuma mimpi,” gumam Kyra sambil mematikan lampu di ruang baca dan keluar.
*_*
“Selamat pagi anak-anak!” sapa pak Bakhtiar, wali kelas X D, kelas Kyra.
“Pagi, Paaaakk!” jawab murid-murid koor.
“Maaf mengganggu sebentar. Hari ini kalian mendapat teman baru.” Pak Bakhtiar lalu memanggil seseorang. Seorang cowok memasuki kelas sambil tersenyum. Kyra hampir tersedak permen yang dikulumnya karena kaget saat menatap cowok itu.
“Leon?!”
Tanpa sadar Kyra memekikkan nama Leon. Cowok itu menatap Kyra dengan pandangan penuh tanya.
“Oh? Jadi kalian sudah saling mengenal?” Pak Bakhtiar menatap bergantian antara Kyra dan cowok baru itu. Kyra mengangguk mantap, tapi cowok itu menggeleng. Namun Pak Bakhtiar tidak memperhatikan gelengan itu. Beliau malah menyuruh cowok baru itu duduk di bangku yang sama dengan Kyra, yang memang duduk sendiri.
Dengan agak berat hath cowok itu menghampiri Kyra dan duduk di samping gadis itu.
“Leon? Kamu kok...?”
“Elo siapa? Dari mana tahu nama gue?” Leon bertanya dingin.
“What?” Kyra tak menyangka bakal mendapat reaksi sedingin itu dari Leon.
“Gue nggak kenal ama lo. Jadi, nggak usah sok kenal deh!”
Bel istirahat berdering dan Leon langsung beranjak dari tempat duduknya dan keluar dari kelas bersama anak-anak lain, meninggalkan Kyra yang tertegun sendiri.
Ya ampun! Dia sih, bukannya penyihir keren di mimpiku, tapi penyihir jahat beneran, batin Kyra dalam hati. Dia begitu terkejut ketika tiba-tiba matanya mulai pedih dan pandangannya buram. Setitik kristal bening jatuh. Dan, rasanya ada sesuatu yang menggores jantungnya.
*_*

No comments:

Post a Comment