“Odele
Calluella!” Seorang pemuda bergegas melangkahkan kaki. Dia memakai tunik
panjang tanpa lengan dengan perpaduan warna hitam dan merah. Pada lengan kanan
atasnya, dia mengenakan bandage merah
senada dengan warna merah pada tuniknya, bergambar bintang hitam bersudut dua
belas: enam sudut panjang, enam sudut pendek. Lempengan logam campuran selebar
tiga jari melingkari lehernya, menyambung dengan rantai yang melilit lengan
kirinya dengan anggun dan berakhir pada lempengan serupa yang melingkari
pergelangan tangan kirinya. Di balik rambut peraknya, yang berkibar tertiup
angin, anting-anting berbentuk pedang membanduli telinga kanannya. Dan jika
diperhatikan, kedua telinganya tampak meruncing ke atas.
Beberapa
meter di depannya, seorang gadis menatapnya dengan pandangan kesal. Gadis itu mengenakan
gaun putih panjang bermotif biru. Rambut hitamnya yang panjang lurus tergerai
lembut ke belakang, dengan kepang kecil di kedua sisi telinganya, yang dipilin
ke belakang, membuatnya begitu anggun, kalau saja ia tidak sedang merengut
kesal. Bahkan, kalau boleh jujur, dalam keadaan merengut pun dia tetap terlihat
cantik.
“Apa?!” tuntutnya begitu si pemuda berambut perak
sampai di hadapannya.
“Mau ke
mana kau?” tanya si pemuda, menatap Odele dengan mata elangnya yang sangat
tajam.
“Bukan
urusanmu.” Odele memalingkan mukanya, menghindari tatapan menusuk pemuda itu.
Questa
Dwayne, pemuda yang mendapat tanggung jawab menjaga Odele secara langsung dari
ayah Odele, mengatupkan rahang menahan kekesalan.
“Apa kau
sadar kau itu putri tunggal penguasa Elysia?” Questa menghunjamkan tatapannya
tepat di manik mata Odele, yang meruncing anggun bagai buah almond.
“Tentu
saja!” Odele menaikkan dagunya.
“Jadi?”
Questa menaikkan sebelah alisnya.
Odele
mendengus. “Baik, kau menang,” gumamnya seraya menunduk.
Questa
mendengus. Dia lalu mengikuti langkah tergesa Odele. Terus ke selatan, menuju
lapangan berumput di sisi danau Vinca. Itu adalah danau dengan air yang jernih
menyejukkan dan berkilauan tertimpa cahaya matahari senja. Melongok di atasnya,
terlihat jelas ikan-ikan kecil bermain di dalamnya. Berenang berputar-putar,
berkelompok dan berkejaran. Semakin ke tengah, air danau terlihat semakin gelap.
Danau Vinca menyambung dengan laut Sikhara di sisi tenggara Elysia melalui
sungai Igram. Melalui sungai itulah, dulu, sekelompok merpeople menyeberang dari laut Sikhara menuju danau Vinca, dalam
usaha melepaskan diri dari serangan Gnisa dari seberang lautan. Mulanya ada
tujuh merpeople: tiga mermaid, tiga merman, dan satu mer
bayi. Mereka lalu menetap di danau Vinca dan membentuk koloni di dasar danau.
“Kenapa
sih, kau harus selalu mengintil di belakangku?” Odele menggerutu. “Seperti
penguntit saja!”
“Kau ingin
aku berjalan di sampingmu?” Questa menanggapi dengan senyum.
Odele
menghentakkan kakinya dan menoleh pada Questa dengan kesal. “Maksudku bukan
itu!” tukasnya. “Bukan berjalan di belakang dalam arti harfiah!”
“Lalu?”
“Ah,
sudahlah!” Odele kembali menatap ke depan dan berjalan dengan langkah tergesa.
Questa menangkupkan telapak tangan kanannya menutupi bibir dan mati-matian
menahan tawa.
Sampai di
ujung padang rumput, Odele berbelok ke kiri, memasuki hutan Elfamore. Questa
mengikutinya. Melangkahkan kaki di antara semak dan pepohonan rimbun, menginjak
dedaunan busuk yang menumpuk menutupi tanah. Tidak ada jalan setapak di dalam
hutan, karena memang tidak perlu. Seluruh penduduk Elysia mengenal setiap inci
dari hutan Elfamore. Hutan seluas sepertujuh bagian Elysia itu merupakan hutan
tertua di daratan Elysia. Pada sepertiga bagian timur hutan itu terpotong oleh
aliran sungai Igram. Para tetua Elysia tinggal di hutan itu, di dalam
pohon-pohon, atau mengambil bentuk burung-burung. Tidak seperti hutan kuno pada
umumnya, udara di dalam hutan Elfamore segar, tidak lembab. Angin pun berhembus
begitu pelan, menelusup di antara pohon dan dedaunan dengan begitu lembut,
nyaris tanpa desir.
Seekor bluebird melintas di depan Odele dan
Questa dan mendarat di atas batang pohon tumbang yang telah dipenuhi lumut,
tanaman rambat, dan rumput.
“Salam,
Lark-Naut,” Odele mendekat dan menyentuhkan telapak tangan kanan di dada
kirinya sebagai tanda penghormatan di Elysia. Questa melakukan hal serupa,
namun ia tetap memposisikan diri di belakang Odele agak ke samping kanan.
Bluebird
itu berubah dengan anggun, menjelma menjadi seorang Elf pria berambut biru gelap nyaris hitam. Elf itu mengenakan tunik panjang berwarna perak dengan hiasan
manik-manik kecil dari permata safir, sehingga ia nampak berpendar biru
keperakan.
“Salam,
Putri Odele. Salam, Pengawal.” Lark-Naut membalas salam dengan anggun seraya
tersenyum. Questa memperhatikan Elf
itu dengan khidmat. Senyum hangat, mata teduh, dan garis-garis wajah penuh
pengalaman yang melekat pada diri Elf
itu memang mampu membuat siapapun menunduk khidmat, penuh hormat, dan segan.
Semua Elf adalah anggun, Questa tahu
itu, tapi Lark-Naut memiliki keanggunannya sendiri.
Lark-Naut
melambaikan lengannya mempersilahkan Odele untuk berjalan di sampingnya, lalu
mulai berjalan pelan. Odele maju beberapa langkah menjejeri Elf itu, sementara Questa tetap mengekor
di belakang agak ke samping kanan. Selama beberapa waktu tak ada dari mereka
yang berbicara. Semua tepekur dalam pikiran masing-masing. Questa, sebagai
tahanan sekaligus pengawal Putri Odele, tahu bahwa ia tak berhak untuk memulai
pembicaraan, apalagi di hadapan Lark-Naut, Elf
yang paling dituakan di Elysia. Kuasanya hanya terletak pada hal-hal yang
berkaitan dengan Putri Odele. Selebihnya, ia hanyalah tahanan semata. Yah, ia
adalah tahanan tetap Elysia, bahkan sejak ia baru saja dilahirkan. Itu adalah
harga yang harus dibayar orang tua Questa saat mereka menyegel Gnisa dalam diri
Questa. Sedangkan Odele, meski ia adalah
Putri Mahkota Elysia yang mempunyai kewenangan untuk menanyakan maksud
Lark-Naut memanggilnya ke hutan Elfamore, namun ia menghormati Lark-Naut, salah
satu tetua Elysia yang kebijaksanaannya tak diragukan. Ia memilih diam menunggu
Elf tua itu memulai pembicaraan.
Terlepas dari pikiran Questa maupun Odele, Lark-Naut sedang menimbang apakah ia
memang harus mengatakan apa yang baru saja diketahuinya atau tidak.
Beberapa
putaran matahari yang lalu, telah datang utusan dari utara, dari hutan
Centamore yang terletak di bagian utara Elysia. Para Centaurus melihat bintang-bintang mulai bergerak resah. Sinarnya
pun tak seterang biasanya. Para centaurus
meramalkan sesuatu yang buruk tengah mendekat. Mendengar berita itu, para tetua
berkumpul di jantung Elfamore, untuk membahas berita yang dibawa utusan para centaur. Beberapa Elf tertua juga telah merasakan kedatangan sang kegelapan dari
desir angin di dalam Elfamore, termasuk Lark-Naut.
Lark-Naut
menghela nafas lalu menghembuskannya perlahan. “Sebuah daratan sedang
terancam,” ujarnya memulai, “daratan yang menjadi penyokong dunia-dunia. Dan,
karena itu, jika daratan itu hancur, Elysia pun terancam. Kami, para tetua,
tentu saja masih mengingat ramalan kuno yang dituliskan Yang Mulia Felixia,
ratu pertama Elysia, dalam Sajak Para Ratu.”
Lark-Naut menoleh pada Odele, untuk melihat anggukannya. Namun Odele hanya
menatap Lark-Naut dengan mata dipenuhi tanda tanya. Lark-Naut kembali menatap
ke depan dan mulai melantunkan sajak itu:
Erut ufehtni y adaeb lli wereht.
Owtemoc eb noom eht nehw.
Emyhr y mrebmemer.
Ediu gruo y sisiht.
Yhwd na who.
Scisumd nas gnosev lewt.
Yksema seht rednu.
Sdlrown idaerps.
Siht rebmemer.
Denn epos ietag eht erof ebs dneirfrou y dnif.
Dneirfa sihcihwni y mene na eb lli wereht.
Y mene na sihciwni dneirfa eb lli wereht.
Yawasdeens senkrad eht.
Moolgasdeens senkrad eht.
Swodahs sek amt hgil.
Edis rekradd na edis rethgirba eb lli wereht.
Noom detarapes noom der.1
Angin sunyi
berhembus. Semakin dingin dan sunyi. Berputar-putar mengelilingi Odele dan
Questa. Menciptakan kabut. Seputih susu. Pekat dan dingin. Membungkus Odele dan
Questa dalam kepompong angin bercampur kabut yang dingin dan sunyi.
“Apa ini?”
Odele mengulurkan tangannya menyentuh dinding kepompong.
“Kami
memutuskan untuk mengirim Putri Odele ke dunia penyokong dunia-dunia itu.”
Terdengar suara Lark-Naut. “Tuan Putri akan mencari saudara yang lain dan
menyelamatkan dunia ini dari kehancuran.” Suara Lark-Naut semakin berat dan
jauh, tertelan pusaran kepompong yang sunyi. Semakin cepat dan semakin cepat
berputar.
Saat
pusaran angin mulai melemah dan kepompong kabut akhirnya pecah, Odele dan
Questa mendapati diri mereka di dunia asing: pepohonan yang asing, udara yang
asing, cuaca yang asing…
“Di mana ini?” Odele memutar tubuhnya menatap
sekeliling.
“Apakah
ini…” Questa maju selangkah menjejeri Odele, “dunia penyokong dunia-dunia, yang
dikatakan Lark-Naut…??”
“Danghyang?!”2
Sebuah
pekikan mengagetkan Odele dan Questa. Bersamaan mereka menoleh ke arah sumber
suara. Di sana, tidak jauh dari mereka, seorang anak laki-laki berdiri dengan
mulut ternganga dan mata terbelalak lebar. Tangannya terangkat dengan jari
telunjuk mengarah pada Odele dan Questa. Dia mengenakan kain berwarna tanah
bercorak putih dan bertelanjang dada. Dilihat dari garis wajahnya yang masih
halus dan postur tubuhnya, tampaknya ia masih belia, masih beranjak dari
kanak-kanak ke remaja.
“Ada apa, Tole?”3 Mengikuti pertanyaan
itu, seorang pemuda mendekat, dengan langkah tegap dan mantap. Dihampirinya
anak laki-laki yang mematung itu. Mengikuti arah yang ditunjukkannya, dia
menatap ke arah Odele dan Questa, dan langsung terbelalak karenanya.
“Jagad Pramudhita!”4 ujarnya setengah terkejut.
Odele
dan Questa saling pandang seraya mengangkat alis. Dunia macam apa sesungguhnya
yang mereka kunjungi ini? Lalu apa yang harus mereka lakukan di sini? Berbagai
pertanyaan berkecamuk memenuhi benak Odele dan Questa. Baru mereka sadari
sepenuhnya, Lark-Naut masih belum menjelaskan secara gamblang hal-hal yang
berhubungan dengan pengiriman mereka ke dunia ini, selain sajak Yang Mulia
Felixia.
Hari ini Mundhing Seta
genap berusia tiga belas tahun. Pagi-pagi sekali Jalu Pradangga membangunkannya
untuk segera bersiap ke hutan. Ia ingin mengajak adik semata wayangnya itu
untuk berburu. Jika mereka bisa mendapatkan beberapa ekor rusa, mereka bisa
menukar sebagian dagingnya dengan bahan makanan untuk beberapa hari ke depan,
dan sisanya mereka masak sendiri. Jalu Pradangga bermaksud mengadakan kenduri
untuk menyelamati hari kelahiran Mundhing Seta. Dia juga memberi adiknya itu busur baru beserta anak panahnya.
“Ayolah, Mundhing Seta… sampai
kapan kau mau mengagumi warastra5
itu?” Jalu menghentakkan kaki tak sabar.
“Sebentar, Kakang.”
Mundhing Seta menyampirkan endhong6
berisi anak panah di punggungnya dan menyelipkan belati di pinggangnya.
Menggenggam busur panahnya, lalu menyusul kakangnya yang telah menunggu di luar rumah.
Jalu Pradangga adalah
seorang pemuda berkulit sawo matang dan berbadan tegap. Dia lebih senang
bertelanjang dada, membiarkan tubuhnya terbakar matahari. Bermata teduh dan berwajah bersih, serta
rambut yang selalu dicukur cepak. Di desa ini, dia dikenal sebagai pemuda yang
ringan tangan dan mudah tersenyum, meski dia agak pendiam. Berbeda dengan
Mundhing Seta adiknya, yang berkulit agak lebih terang daripada dirinya.
Bersama, mereka
bergegas menuju alas7
Warangan yang terletak di sebelah tenggara desa. Sampai di hutan, mereka segera
mencari jejak rusa. Baik Jalu maupun Mundhing Seta, keduanya merupakan pembaca
jejak yang andal. Segera saja mereka menemukan segerombolan rusa yang tengah
merumput. Dengan tanpa suara mereka bergerak mendekat, bersembunyi di balik
semak dan mengintai dalam diam.
Pelan-pelan ngembat watang8,
membidikkannya pada sasaran, dan melesatkan anak panah. Nyaris tanpa suara anak
panah itu melesat membelah udara. Dua ekor rusa tergeletak sekaligus dengan
bidikan tepat mengenai bagian vital, sedang lainnya berlarian ke segala arah.
Jalu saling pandang
dengan adiknya, sama-sama
tersenyum. Lalu keduanya bangkit dan memeriksa hasil buruan mereka.
“Payah, Kakang,” gerutu Mundhing Seta, “aku
hanya dapat rusa kecil.”
Jalu Pradangga
tersenyum. “Lain kali kau pasti bisa mendapatkan yang besar, Tole…”
“Kakang! Aku kan sudah
tiga belas tahun! Sudah tidak pantas dipanggil Tole lagi!” Mundhing Seta memprotes. Jalu hanya tersenyum mendengar protes adiknya.
Kakak beradik itu lalu membawa hasil buruan mereka ke
sungai yang melintasi hutan Warangan. Di sana, mereka menguliti kedua rusa itu dan
membersihkan darahnya. Setelah itu
mereka membagi daging rusa itu menjadi dua bagian dan memasukkannya pada dua
karung berbeda. Kulit rusa berikut kepalanya mereka letakkan dalam karung yang
lain. Jadilah buruan itu dalam tiga karung. Jalu membawa dua di antaranya dan
sisanya dibawa oleh Mundhing Seta. Mereka membawa hasil buruan itu ke pasar,
menukarkan sebagian besar dengan kebutuhan sehari-hari dan membawa pulang
sebagian kecil sisanya.
Sesampai di
rumah, Jalu Pradangga segera menyibukkan diri untuk menyiapkan makanan.
Sementara ia berkutat dengan luweng9,
Mundhing Seta keluar untuk mencari daun pisang sebagai alas dan pembungkus.
Saat Mundhing Seta hendak menuju tegalan10
di belakang rumah, dilihatnya dua orang berpenampilan aneh muncul secara
tiba-tiba di bawah Waringin Sewu.11
“Danghyang?!”
seru Mundhing Seta, tanpa sadar menunjuk kedua orang asing itu.
Jalu
Pradangga yang mendengar seruan adiknya bergegas keluar. “Ada apa, Tole?” tanyanya. Namun Mundhing Seta
yang terlalu terpaku tak dapat mendengarnya. Diikutinya arah yang ditunjuk
adiknya itu. “Jagad Pramudhita!”
gumamnya dalam keterkejutan.
Sambil waspada
Jalu mendekati dua orang asing itu dan menangkupkan kedua telapak tangan di
depan dada, memberi penghormatan singkat. “Maafkan adik saya yang kurang tahu
tata krama,” ujarnya seraya mengambil sikap ngapurancang.12
“Kalau boleh saya tahu, Ki Sanak berdua ini siapa dan hendak kemana?”
Dua
orang asing itu saling pandang sejenak, lalu kembali menatap Jalu dengan alis
berkerut.
“Odele sie manym, Questa sie hdna.”13
Masih
dengan sisa keterkejutannya, Mundhing Seta menatap bergantian Kakangnya dan dua
orang asing di depan mereka. Dia sama sekali tak mengerti apa yang dikatakan
wanita asing itu, namun anehnya Kakangnya sepertinya dapat mengerti.
Kakangnya
manggut-manggut. “Apakah Ki Sanak berdua ini kerabat istana?” tanya Kakangnya dengan
sopan.
“Dnal y mnissec nirpn worc amai, naidraug y msi Questa
dna,”14 si wanita asing
yang menjawab. “Ou y era ohw dna? Siht
sidlrow tahw? Won era e werehw won ktonod ew…”15
Kakangnya
menjawab, “Ini adalah Jawa Dwipa. Kanjeng Putri dan Senopati sedang berada di tlatah16 Singosari, di bawah
kekuasaan Baginda Raja Sri Kertanegara. Saya yang rendah ini adalah Jalu
Pradangga, dan ini adik saya Mundhing Seta.”
Makin
khawatir, Mundhing Seta menarik-narik ujung kain Kakangnya.
“Apa?”
tuntut Jalu Pradangga.
“Mereka
bicara apa, Kakang? Bagaimana Kakang bisa mengerti bahasa mereka?” Mundhing
Seta setengah berbisik di telinga Kakangnya.
Jalu
melirik Odele dan Questa sekilas, menjawab pertanyaan adiknya dengan setengah
berbisik pula. “Kamu ini ngomong apa, Tole?
Bahasa yang mereka gunakan sama saja dengan kita.”
“Tapi
Kakang…”
“Gnorw sitahw?”17 Odele menatap kakak beradik itu penuh tanda tanya.
Mundhing
Seta menatap Kakangnya, yang menjawab, “Tidak apa-apa, maaf,” seraya tersenyum.
“Mundhing Seta bertanya, apa yang Kanjeng Putri dan Tuan Senopati bicarakan.
Dia melantur, bukankah kita menggunakan bahasa yang sama?” Jalu mengelus kepala
adiknya seraya memberikan tatapan yang berarti “Diam dan jaga sikapmu!”
Melihat
peringatan Kakangnya itu, Mundhing Seta mengalihkan pandangannya ke arah Odele
dan Questa, yang tengah memandangnya tak berkedip.
“Thgirsi rehtor bruo y spahrep, tub,”18 gumam Questa, masih menatap Mundhing Seta. “Tou bagnik latsi ehtahw dna tsrednu tonod
ew. Ou y dna tsrednu ylnonac ew, Jalu-Orb.”19
“Questa eurtsi!”20 Odele membenarkan. “Mundhing Seta y bdesu si egau gnal tahw?”21
Jalu
menatap bergantian antara adiknya dan dua orang asing di depannya.
“Jagad Dewa Bathara,”22 gumamnya lirih. “Sungguhkah kalian tak dapat memahami
ucapan Mundhing Seta?” Ditatapnya Odele dan Questa. “Bukankah kalian bisa
memahami apa yang ku ucapkan?”
“Llatamih dna tsrednu tonnac ewtub, sey,”23 jawab Odele.
“Nodl oh,”24 gumam Questa lamat-lamat. “Gnosro cisum aou y era?”25
“Jika yang
Tuan Senopati maksud adalah nama, ya, nama saya berhubungan dengan gamelan.”26
“Rehtor brou y dna?”27
“Tidak.”
“T’ is itaht!”28 cetus Odele seraya menjentikkan jari. “Gnosro cisum sniatnoc ohw elpoe pehtrof
gniko olera ew. Ton rehtor brou y tub, cisum era ou y. Rehto hcaeot dna tsrednu
tonnac ew yhw sitaht!”29 Odele meraih tangan Jalu. Ia bahkan
bermaksud memeluknya jika saja Jalu tidak menahannya.
“Maaf,”
ujar Jalu. “Tidak baik seorang wanita memeluk laki-laki asing, apalagi yang
baru dikenal.”
Questa
berdehem di belakang Odele. “Elysia nin
eve, dettimr epeb tonnac signiht taht.”30
Jalu Pradangga berdiri termangu di samping
jendela, menatap keluar melalui celah-celah jeruji kayu yang terpasang di
jendela, memperhatikan dua orang di luar yang sepertinya tengah berdebat. Yang
perempuan berkacak pinggang dan merengut kesal, sedang yang laki-laki
bersedekap dan menatap si wanita. Keduanya memakai pakaian yang aneh, seolah
mereka kelebihan sekaligus kekurangan kain pada saat yang bersamaan. Mereka
begitu bersinar dan mencolok, apalagi dengan telinga yang meruncing ke atas.
Dilihat sekilas saja sudah jelas kalau mereka aneh, ganjil, seolah tidak pada
tempatnya. Tapi yang lebih aneh adalah yang laki-laki. Dilihat dari postur
tubuh dan wajahnya, dia tampak tidak lebih tua dari Jalu, tapi rambutnya putih
sempurna, bahkan lebih mengkilap dibanding rambut Ki Buyut, sesepuh desa, yang
sudah dipenuhi uban. Dan lagi, laki-laki itu memiliki rantai di leher dan
lengannya, seperti seorang tahanan, padahal tampangnya sama sekali tidak mirip
bromocorah, justru mirip bangsawan. Yang lebih aneh lagi adalah kemunculan
mereka yang tiba-tiba di bawah Beringin Keramat.
Menurut
pengakuan gadis itu, dia adalah Putri Mahkota Elysia, dan laki-laki itu adalah
pengawalnya. Jalu tidak pernah mendengar ada negeri itu, pastilah negeri yang
sangat jauh.
“Bagaimana,
Kakang?” Jalu mendengar adiknya berbisik di sampingnya.
“Menurutmu?”
“Hm… mereka
dikelilingi aura yang ganjil, hingga mampu membuat udara di sekitar mereka bergerak-gerak
resah, tapi ku rasa itu bukan aura jahat.”
“Ku pikir
juga begitu,” ujar Jalu. “Aura itu… bisa jadi karena ilmu kanuragan31 mereka yang tinggi, atau entahlah. Yang
pasti, kita harus tetap waspada.”
“Tentang
yang mereka katakan kemarin…” Mundhing Seta memulai, namun tak menyelesaikan
kalimatnya.
Kemarin,
Jalu menghela nafas, dua orang itu mengatakan sesuatu yang sulit diterima akal.
Mereka bilang mereka dikirim kemari untuk mencari sepuluh orang yang membawa
lagu atau musik, dan bersama-sama menyokong bumi ini, yang merupakan dunia
penyokong dunia-dunia. Mereka bilang mereka harus menemukan musik dan lagu yang
lain sebelum rembulan membelah dan dunia ini berguncang.
Ingin
sekali jalu mengabaikan mereka, karena cerita mereka itu terlalu ngayawara32, tak bisa
diterima akal. Namun ia teringat wejangan33
Ki Ajar Wenang, seorang pengelana yang sempat menjadi gurunya dalam olah kanuragan selama sepekan, ketika
singgah di desa ini.
“Ngger,34 sebelum aku pergi,
ada beberapa hal yang perlu kau ketahui,” begitu Ki Ajar Wenang menuturkan.
“Ilmu yang ku ajarkan padamu itu hanyalah satitik
latu ing luweng, sadulit sambel ing cowek35, maka janganlah
menjadikan besar kepalamu. Ingat-ingatlah selalu ngelmu pari36, yang makin merunduk ketika makin berisi.
Dan belajarlah pada ngelmu pring37,
yang meski tinggi namun tetap ngugemi38,
lurus tak bercabang, memiliki akar yang kuat menghunjam bumi, yang mampu
mengikuti kemana arah angin berlalu tapi tetap terpaku pada akarnya.”
Jalu
Pradangga menyerap baik-baik nasehat Ki Ajar Wenang, juga saat pengelana
berusia senja itu melanjutkan, “Ngger,
pada waktunya nanti akan datang dua orang pengelana mencarimu. Turutlah dengan
mereka, karena itu adalah bagian dari takdirmu.”
Saat itu,
Jalu yang semula menunduk mendongak menatap gurunya. “Takdir, guru?”
“Ada takdir
besar menunggumu di depan,” ujar laki-laki tua yang gemar berjalan dari satu
tempat ke tempat lain itu.
Lamunan
Jalu terputus saat adiknya menyentuh lengannya dan mengisyaratkan agar dia
menengok ke luar jendela. Dilihatnya Putri dari negri yang jauh itu tengah
bersenandung di dekat semak mawar dan melati yang nyaris mati kekeringan di
musim katiga39 ini.
Menakjubkan, semak mawar dan melati yang semula sekarat, tak mempunyai daya
hidup itu mulai menggeliat. Seperti mendapat penawar dari racun yang mematikan,
seolah terbasahi hujan setelah kemarau panjang, ranting-ranting kurus kering itu
menjadi segar kembali, warnanya yang semula cokelat pudar mulai bersemu kehijauan.
Daun-daun mulai muncul dan bunganya bermekaran. Dan bersama-sama tumbuh menjadi
semak mawar dan melati yang rimbun, dengan aroma semerbak yang menenangkan.
“Luar
biasa,” Jalu Pradangga tak mampu membendung rasa kagumnya. “Merekakah, Ksatriya Nglanglang40 yang
pernah disebutkan oleh Ki Ajar Wenang?”
___
Hazuki Auryn, Jum’at,
08062012 01:30 a.m
_________
Cerpen ini diikutsertakan dalam ajang Fantasy Fiesta 2012:
http://www.goodreads.com/topic/show/850573-lomba-fantasy-fiesta-2012?format=html&page=1&type=topic
http://kastilfantasi.com/2012/05/daftar-cerita-fantasy-fiesta-2012/