“Apaan
nih?”
Kyra
menepuk-nepuk sebuah buku penuh debu yang baru diambilnya dari ujung atas rak
buku di ruang baca. Buku itu sudah bertengger di rak buku itu ketika Kyra dan
keluarganya pindah ke rumah ini. Dan baru sekarang buku putih setebal tiga
centimeter itu keluar dari tempatnya di ujung atas rak buku di ruang baca.
Kyra
mengamatinya. Ada kotak judul di sampul depan buku itu, tapi kotak itu kosong.
“Sepertinya
buku dongeng. Tapi kok nggak ada judulnya sih?” gumam Kyra, kemudian duduk di
salah satu kursi di ruang baca dan meletakkan buku itu di atas meja.
Saat
Kyra membuka sampulnya, ada beberapa kotak bergambar di halaman pertama.
“Ternyata
buku dongeng bergambar,” Kyra kembali menggumam.
Belum
sempat Kyra mengamati gambar-gambar itu, dari dalam buku tersebut muncul cahaya
putih berpendar dan Kyra seperti tersedot masuk ke dalam buku.
*_*
“Lho?”
Kyra terbengong menatap sekitarya. “Ini di mana, ya?” tanyanya pada diri
sendiri. Tak ada tanda-tanda keberadaan orang lain di sana selain Kyra. Di
kanan kirinya, nampak semak-semak dan pepohonan yang rapat dan tanah yang
dipijaknya tertutup dedaunan kering dan rerumputan.
Seperti di dalam hutan
saja, batin Kyra.
“Tunggu!”
Kyra memekik. “Hutan?” Gelombang ngeri menghampiri Kyra. Dia tak habis pikir,
bagaimana bisa dia ada di tengah hutan begini? Sendirian lagi! Ini sungguh tak
pernah ada dalam benak Kyra.
Bunyi
gemerisik dari semak-semak di belakang Kyra memaksa gadis itu membalikkan badan
dan menegang.
Bagaimana
kalau itu binatang buas? Serigala, mungkin? Ular? Atau binatang buas lainnya?
Tapi
ternyata yang keluar dari balik semak-semak itu bukan binatang, apalagi
binatang buas, melainkan seorang cowok yang, menurut Kyra, pakaiannya aneh. Dia
memakai baju serba hitam seperti yang biasa dipakai Deddy Corbussier, mentalist
terkenal itu. Hanya saja, cowok (Kyra yakin dia masih cowok, bukannya
laki-laki) ini memakai jubah dan menyembunyikan wajahnya di balik tudung kepala
jubah.
Cowok
itu mendekat ke arah Kyra dengan langkah pelan dan tegap. Kyra mundur beberapa
langkah.
“K-k-kamu,
s-siapa?” Kyra bertanya takut.
“Leon,
penyihir,” cowok itu menjawab dengan suara dalam dan halus.
“P-penyihir?”
Kyra bertanya menegaskan. Dalam pikirannya, muncul gambaran penyihir jahat yang
suka menculik gadis-gadis dan meminum darahnya untuk mempertahankan kemudaan.
“Tidak
perlu gugup begitu kan, tuan Putri?”
Leon
berhenti tepat di hadapan Kyra dan membuka tudung kepalanya. Kyra terperanjat.
Tadinya dia mengira wajah cowok itu penuh sayatan mengerikan, makanya ditutupi
tudung jubah. Tapi ternyata...
Berhadapan
dengan cowok itu, Kyra hanya setinggi dagunya. Padahal Kyra termasuk cewek
tinggi di antara teman-temannya.
“A-aku
nggak gugup, kok,” jawab Kyra yang sudah mulai bisa mengontrol dirinya. “Dan lagi, aku bukan tuan Putri. Namaku
Kyra.”
Leon
tersenyum, dan dada Kyra berdesir aneh.
*_*
Sudah
satu minggu Kyra tinggal di sini, sebuah rumah di pinggir desa, tak jauh dari
hutan. Kyra tinggal bersama seorang janda menyebalkan yang mempunyai dua anak
perempuan yang juga sama menyebalkannya. Parahnya, janda itu mengira Kyra
adalah anak tirinya. Dan dua anaknya yang menyebalkan itu pun mengira Kyra
adalah saudara tiri mereka. Padahal, jangankan saudara tiri, saudara kandung
saja sebenarnya Kyra tak punya. Dan seperti kisah ibu dan saudara tiri dalam
dongeng-dongeng pada umumnya, di sini pun Kyra tidak diperlakukan dengan baik.
Sebenarya
Kyra sangat enggan tinggal bersama tiga orang perempuan yang amat menyebalkan
itu. Pernah sekali dia bertanya apa tidak ada tokoh utama di dongeng ini, dan
Leon bilang tidak ada. Makanya penyihir itu memanggil tokoh utama dari dunia
nyata. Kyra mulanya menolak dijadikan budak oleh tiga keluarga tirinya itu,
tapi Leon bilang Kyra harus mengikuti jalannya cerita dan menyelesaikannya jika
ingin bisa pulang kembali ke rumahnya. Jadi, meski terpaksa, Kyra mau juga
mengikuti cerita.
*_*
Kyra
baru selesai mencuci pakaian di sungai dan sedang dalam perjalanan pulang
ketika Leon tiba-tiba muncul di hadapannya. Dia mengenakan pakaian yang
modelnya tidak jauh berbeda dengan pakaian-pakaian yang biasa dikenakannya.
Hanya saja kali ini dia tidak mengenakan jubah, dan pakaiannya itu berwarna
putih, tidak seperti biasanya yang selalu berwarna suram.
“Hai,
Leon! Ada berita apa hari ini? Apa yang harus ku lakukan?” Kyra menghampiri
penyihir itu.
“Tujuh
hari lagi akan diadakan pesta dansa di istana untuk memilihkan calon istri
pangeran dan kau akan datang,” ujar Leon kalem.
“Apa?
Pesta dansa? Tapi aku nggak bisa dansa!?” Kyra panik mendengar berita dari
Leon.
“Tidak
apa-apa,” kata Leon menenangkan. “Aku akan mengajarimu.”
Penyihir
negeri dongeng itu mengambil alih bak cucian dari tangan Kyra dan meletakkannya
di atas sebongkah batu datar di tepi jalan. Dia kemudian menjetikkan jarinya,
dan baju lusuh yang Kyra kenakan berganti menjadi gaun dansa berwarna merah
yang indah. Kyra memandang gaunnya takjub.
Leon
melangkah ke belakang Kyra. Tangan kanannya meraih tangan kanan Kyra dan
merentangkannya, sedangkan tangan Kirinya memeluk pinggang Kyra. Saat itu,
tepat di depan mereka muncul cermin sebesar almari, yang memuat seluruh
bayangan tubuh mereka. Dapat Kyra lihat bayangan dirinya yang begitu cantik.
Hampir-hampir Kyra tak percaya kalau yang ada di dalam cermin itu adalah
dirinya. Leon merendahkan kepalanya dan bersandar pada bahu kanan Kyra.
“Lihat,
kalau begini pangeran pun akan tertarik. Kau akan berdansa dengan pangeran.
Saat itu, kau akan merasakan debaran di jantungmu dan kau akan mencintai
pangeran. Kau akan berciuman dengan pangeran dan menyelesaikan kisahnya. Kau harus
benar-benar mencintai pangeran, karena cinta yang pura-pura tidak berarti di
sini.” Leon menjelaskan panjang lebar. Suaranya begitu lembut terdengar di
telinga Kyra. Dia bahkan bisa mendengar desahan nafas Leon yang terasa hangat
di telinganya.
Deg!
Jantung Kyra kembali berdesir
aneh. Tapi kali ini itu bukan Cuma desiran, melainkan debaran yang makin lama
makin cepat.
“Mmm...
Leon,” panggil Kyra, masih menatap cermin. “Bagaimana kalau... bagaimana kalau
aku merasakan debaran itu saat bersamamu?”
Tampak
ekspresi wajah Leon berubah. Penyihir itu melepaskan pelukannya. Kyra berbalik
menghadap Leon, menunggu jawaban.
“Itu
tidak mungkin,” ujar Leon. “Penyihir tidak ada hubungannya dengan kisah ini.
Penyihir hanya mengawasi jalannya cerita. Tidak mugkin ada debaran terhadap
penyihir.”
“Lalu...
yang ku rasakan ini apa?”
“Itu...
mungkin Cuma kebetulan saja. Tujuh hari lagi kau akan bertemu pangeran untuk
pertama kalinya, sehingga kau jadi
berdebar-debar.”
“Lalu...”
Kyra masih bersikeras, “apakah pertemuan kita juga kebetulan? Pasti ada cerita
lain selain putri dan pangeran. Pasti ada kisah tentang penyihir.”
Leon
hanya diam, dia nampak kalut. Tanpa mengatakan apapun penyihir itu berbalik dan
menghilang. Cermin besar
dan gaun dansa yang dikenakan Kyra ikut menghilang, berganti pakaian lusuh Kyra
yang sebelumnya.
Sendirian,
Kyra mengambil bak cucinya dan mulai berjalan pulang. Teringat kembali olehnya
percakapan dengan Leon beberapa hari yang lalu.
“Kenapa
harus memanggil tokoh utama dari luar?” tanya Kyra waktu itu.
“Karena
tidak ada tokoh utama,” jawab Leon. “Kisah ini dulu diciptakan oleh seseorang
yang meninggal sebelum meyelesaikan kisahnya. Bahkan judul kisah pun masih
belum dibuat olehnya. Oleh karena itu, tugasku-lah memaggil tokoh utama dari
luar. Tokoh utama harus menyelesaikan kisah dalam dongeng ini dan memberikan
judul untuknya.”
*_*
Sejak
kejadian di perjalanan pulang Kyra dari sungai itu Leon sama sekali tidak
menemui Kyra.
Akhirnya,
hari di mana pesta dansa itu diadakan tiba juga. Ibu dan kedua saudara tiri
Kyra sibuk berhias diri sementara Kyra membersihkan rumah. Begitu malam tiba
mereka segera berangkat, meninggalkan Kyra dengan segudang pekerjaan rumah.
“Jangan
kemana-mana dan pastikan rumah sudah bersih saat kami pulang nanti!” pesan ibu
tiri Kyra sebelum berangkat.
“Ya
ya ya,” jawab Kyra sebal.
Sambil
meneruskan pekerjaannya, Kyra terus memikirkan Leon. Ya, sejak pertemuannya
yang pertama dengan penyihir itu, Kyra sudah menyukainya. Tapi sepertinya Leon
tidak menyadarinya. Yang dipikirkan olehnya hanyalah bagaimana Kyra
menyelesaikan kisah tanpa melanggar aturan dan merusak cerita.
Tak
berapa lama setelah keluarga tiri Kyra pergi, Leon muncul. Kyra kaget juga, dia
pikir Leon marah karena pertanyaanya waktu itu dan tak mau lagi menemui Kyra.
Tapi sepertinya apa yang dipikirkannya salah. Leon muncul dengan senyum
tersungging di bibirnya seperti biasanya.
Kali
ini Leon memakai setelan serba hitam. Tanpa menyapa Kyra lebih dulu dia
menjentikkan jarinya dan seluruh bagian rumah bersih seketika. Sekali lagi
penyihir itu menjentikkan jarinya dan kini gaun pesta berwarna putih yang
keindahannya tiada tara membungkus tubuh Kyra. Rambut Kyra yang panjang
tergerai menjadi tersanggul indah kini.
“Lihat,
lihat!” seru Kyra seraya mendekat pada Leon. “Kau hitam dan aku putih. Kita
seperti pasangan, ya?”
Leon
hanya tersenyum menanggapi, dan dada Kyra kembali berdesir aneh.
“Ayo
kita berangkat,” ajak Leon.
*_*
Di
istana, kebanyakan yang menghadiri pesta adalah para gadis, karena memang yang
paling utama diundang adalah gadis-gadis di seluruh negeri. Leon terus
menggandeng tangan Kyra menerobos para tamu mencari tempat yang nyaman. Di
tengah-tengah ruangan terdapat beberapa pasang laki-laki dan perempuan yang sedang berdansa
dengan diiringi alunan musik yang merdu.
Leon
membawa Kyra ke lantai atas yang tidak begitu ramai.
“Pangeran
belum datang, ya?” gumam Leon seraya mengedarkan pandangannya menyapu lantai
bawah. Kyra mengikutiya memandang ke bawah, ke arah beberapa pasangan yang
berdansa.
“Mau
berdansa denganku?” tawar Leon, mengalihkan pandangannya pada Kyra.
“Hmm...
tapi aku belum bisa berdansa,” jawab Kyra. Sesugguhnya dia memang ingin
berdansa dengan Leon.
“Tidak
apa-apa,” Leon
tersenyum. “Aku bisa mengajarimu sambil menunggu pangeran keluar. Lagipula,
nanti kau juga akan berdansa dengan pangeran.”
Leon
berdiri di hadapan Kyra. Tangan kanannya menggenggam tangan Kiri Kyra dan
lengan kirinya melingkari piggang Kyra. Mereka lalu berdansa.
“Ikuti
saja iramanya dan sesuaikan dengan lagunya,” Leon mengarahkan. “Lihat, mudah
kan? Melangkah seperti ini, lalu
berputar, seperti ini.”
Kyra
berputar, tertawa. Dia benar-benar bahagia karena baru kali ini mengikuti pesta
dansa. Mereka berdansa cukup lama. Kyra bahkan ingin terus berdansa bersama
Leon selamanya. Dia tidak sadar kalau mereka sedang berada di dalam pesta dan
dirinya harus menemui pangeran.
“Leon...”
panggil Kyra lirih.
Leon,
seperti tersentak, berhenti berdansa dan mundur beberapa langkah dari Kyra.
“Maaf,” ujar Leon, “aku agak terbius suasana.” Leon memegangi keningnya.
Pandangannya seperti menerawang, seolah memikirkan sesuatu yang rumit.
“Kenapa...”
Kyra ragu-ragu, “saat berdansa tadi, rasanya aku ingin lebih lama lagi bersama
Leon.”
Leon
menurunkan tangannya dari kening dan bersandar pada dinding di belakangnya.
“Sebenarnya,” kata penyihir itu, “saat tokoh utama benar-benar menginginkan
sesuatu, secara tidak sadar penyihir memberikannya, tapi itu hanya berlaku
sementara saja.”
“Tapi...”
Kyra mengingat debaran yang aneh yang sering dirasakannya saat bersama Leon,
“apakah itu tidak aneh?” tanyanya. “Maksudku, bukankah aku seharusnya berdansa dengan pangeran? Itu yang kau katakan, kan?”
Mendengar
pangeran disebut, Leon berjalan ke tepi dan memandang berkeliling ke lantai
bawah. “Pangerannya tidak keluar, ya? Sayang sekali,” gumamnya setelah sosok
yang dicarinya tidak berhasil ditemukan. Dia beralih menatap Kyra.
“Bagaimana
kalau kita pulang saja? Lagipula sebentar lagi tengah malam tiba,” katanya,
berusaha tersenyum pada Kyra. Senyum gagal yang hanya menampilkan senyum hampa.
Kyra
tetap berdiri diam, mematung memandang ke kejauhan.
Dia
lalu menghela nafas panjang dan memandang wajah Leon. “Leon, apa... keinginan
terbesarmu?” tanyanya.
Cukup
lama Leon terdiam, sebelum akhirnya menjawab, “Aku ingin mengawasi kisah ini
sehingga negeri dongeng terbebas dari kehancuran. Jadi, keinginanku adalah
menjaga negeri dongeng ini.”
“Kau
bohong!” sahut Kyra. “Aku nggak percaya.”
“Benar,
kok,” Leon menegaskan dan berusaha terseyum. “Aku ini penyihir, dan aku memang
bertugas sebagai penjaga negeri dogeng.”
“Jadi
begitu saja?” Kyra kecewa. “Yang kau pedulikan hanya mengawasi dan menyelesaikan kisah yang belum
selesai ini. Kau nggak punya keinginan lain? Apa kau nggak pernah memikirkan
orang lain?”
Leon
memalingkan wajahnya dari pandangan Kyra. “Karena itulah arti keberadaanku di
sini,” ujarnya lirih. “Jika kisah ini tidak pernah selesai, negeri ini akan
hancur. Dan aku akan tertinggal sendiri di kehampaan.”
Kyra
terperanjat. “Benarkah?” tanyanya.
Leon
hanya diam saja. Tapi terlihat jelas di matanya kalau ia begitu kesepian. Ia
seperti merindukan sesuatu yang begitu jauh dan tak teraih.
“Teng...
teng...” jam besar di puncak menara istana mulai berdentang menandakan tengah
malam tiba.
“Sudah
tengah malam, sebaiknya kita pulang. Ayo,” ajak Leon lembut. Dia meraih tangan
Kyra, tapi gadis itu menepiskannya.
“Aku
nggak mau pulang,” kata Kyra. “Jika kisah ini nggak selesai, kau akan
sendirian. Aku nggak mau pulang.”
“Kyra,”
bujuk Leon, “kita harus pulang. Sihirku hanya berlaku sampai tengah malam. Kau
tidak ingin, kan, tiba-tiba kembali mengenakan pakaian lusuh di sini?”
“Memangnya
kenapa?” Kyra bersikeras. “Leon saja Cuma peduli pada negeri dongeng ini.
Bukankah aku seharusnya bertemu dengan pangeran? Aku nggak peduli kalau aku
musti berpenampilan buruk di depan pangeran. Kalau kisahnya benar, pangeran pasti akan tetap
mencintaiku meski aku berpakaian lusuh.”
“Kyra...”
“Aku
nggak mau pulang. Kalau pulang, kalau nggak ketemu pangeran, kisahnya jadi
kacau. Kalau kisahnya kacau, kalau negeri dongeng hancur, Leon akan tertinggal
sendiri. Aku nggak mau...”
Belum
sempat Kyra menyelesaikan kalimatnya, Leon telah menciumnya. Penyihir itu
kemudian memeluk Kyra, yang masih membeku karena terkejut.
“Aku
memang memiliki keinginan,” kata Leon. “Keinginan terbesarku, ingin terus
bersamamu. Bukan kisah ini, bukan negeri dongeng ini, tapi kau, yang ku
pedulikan. Aku sungguh takut, jika kisah ini kacau, dan aku akan tertinggal
sendirian di kehampaan. Aku takut tak lagi dapat melihatmu. Karena itu, aku
berusaha agar kau tetap mencapai kisahmu. Aku... aku sungguh ingin, selalu
bersamamu, selamanya bersamamu.”
Tepat
saat Leon meyelesaikan kalimatnya, dentang terakhir tengah malam terdengar.
Kyra merasakan cahaya berpendar dari tubuh Leon, lalu cahaya di mana-mana,
berpendar-pendar hingga segalanya nampak putih menyilaukan.
*_*
Kyra
tersentak. Ia duduk di salah satu kursi di dalam ruang baca rumahnya. Di meja
di depannya tampak sebuah buku yang terbuka pada halaman terakhirya. Sebuah
gambar memperlihatkan seorang gadis berpakaian layaknya putri dan pemuda tampan
berpakaian serba hitam berpelukan. Keduanya tersenyum bahagia. Kyra membaca
tulisan yang ada dalam kotak epilog di sisi gambar itu.
“Akhirya
putri dari negeri asing dan sang penyihir hidup bahagia, selamanya.”
Kyra
menutup buku itu dan mengembalikannya di tempatnya di ujung atas rak buku.
“Ternyata
cuma mimpi,” gumam Kyra
sambil mematikan lampu di ruang baca dan keluar.
*_*
“Selamat
pagi anak-anak!” sapa pak Bakhtiar, wali kelas X D, kelas Kyra.
“Pagi,
Paaaakk!” jawab murid-murid koor.
“Maaf
mengganggu sebentar. Hari ini kalian mendapat teman baru.” Pak Bakhtiar lalu
memanggil seseorang. Seorang cowok memasuki kelas sambil tersenyum. Kyra hampir
tersedak permen yang dikulumnya karena kaget saat menatap cowok itu.
“Leon?!”
Tanpa
sadar Kyra memekikkan nama Leon. Cowok itu menatap Kyra dengan pandangan penuh
tanya.
“Oh?
Jadi kalian sudah saling mengenal?” Pak Bakhtiar menatap bergantian antara Kyra
dan cowok baru itu. Kyra mengangguk mantap, tapi cowok itu menggeleng. Namun
Pak Bakhtiar tidak memperhatikan gelengan itu. Beliau malah menyuruh cowok baru
itu duduk di bangku yang sama dengan Kyra, yang memang duduk sendiri.
Dengan
agak berat hath cowok itu menghampiri Kyra dan duduk di samping gadis itu.
“Leon?
Kamu kok...?”
“Elo
siapa? Dari mana tahu nama gue?” Leon bertanya dingin.
“What?”
Kyra tak menyangka bakal mendapat reaksi sedingin itu dari Leon.
“Gue
nggak kenal ama lo. Jadi, nggak usah sok kenal deh!”
Bel
istirahat berdering dan Leon langsung beranjak dari tempat duduknya dan keluar
dari kelas bersama anak-anak lain, meninggalkan Kyra yang tertegun sendiri.
Ya ampun! Dia sih,
bukannya penyihir keren di mimpiku, tapi penyihir jahat beneran,
batin Kyra dalam hati. Dia begitu terkejut ketika tiba-tiba matanya mulai pedih
dan pandangannya buram. Setitik kristal bening jatuh. Dan, rasanya ada sesuatu yang menggores jantungnya.
*_*